
WBN | Jakarta-Penundaan Pemilu 2024 sudah jelas mengandung sentimen negatif secara ketatanegaraan sehingga dapat menyesatkan pola fikir masyarakat menjadi carut marut kedepan.
Menurut Yapiter Marpi perpanjangan jabatan Presiden Jokowi bukanlah mudah untuk dilakukan karena melalui proses pemilu presiden dan wakil presiden seperti yang diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 7 UUD 45.
“Presiden dan Wakil Presiden hanya menjabat maksimum dua kali periode jabatan, yakni selama 10 tahun,”ujar Yapiter Marpi ketika dihubungi WARISANBUDAYANUSANTARA.COM, di Jakarta, Sabtu (05/03/2022).
Dikatakan Yapiter kalau flashback filosifis terhadap perjalanan panjang amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali yang artinya belum tentu dianggap sempurna masih juga banyak kekurangan dan kelemahan misalnya terjadi belum terakomodasikannya secara keseluruhan pemikiran-pemikiran hukum ketatanegaraan yang berkembang saat ini atas dorongan Presiden 3 Periode.
“Oleh karena itu banyak pihak yang masih belum puas terhadap mekanisme amandemen yang digunakan. Banyak kalangan politisi terutama ketatanegaraan yang memberikan masukan pemikiran Presiden 3 Periode, bahkan pandangan Pakar Hukum Tata Negara Yusri Ihza Mahendra berpandangan Perubahan UUD memang bisa terjadi melalui ‘konvensi ketatanegaraan’,”imbuhnya.
Menurut seorang Peneliti/Akademisi FH Universitas Jakarta Yapiter Marpi berpendapat bahwa suatu negara yang menganut asas common law, konvensi ketatanegaraan adalah sesuatu hal yang lumrah bahkan pada dasarnya hampir semua proses ketatanegaraan tidak diatur dalam undang-undang, akan tetapi hanya diatur oleh konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan, namun negara yang menganut asas civil law, konvensi ketatanegaraan bisa dibilang langka atau keberadaannya tdak ada sama sekali kendati disebabkan segala proses ketatanegaraan di negara yang menganut asas civil law identik dengan norma dalam peraturan perundang-undangan.
“Era Reformasi, jumlah konvensi ketatanegaraan semakin lama semakin berkurang yang disebabkan karena semua tradisi politik untuk menuju Pemilu tahun 2024 mendatang,”terangnya.
Tak hanya itu tambah Yapiter, jadi jika hendak melakukan amandemen ke-5 pun perlu kondisi keberadaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang didalamnya terdapat hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menciptakan kompleksitas persoalan terkait wujud konvensi, karena dalam penjelasannya terdapat semangat untuk memformalkan semua peraturan perundang-undangan menjadi norma tertulis agar sesuai dengan sistem hukum nasional.
“Apalagi keberadaan Ibu Kota Negara (IKN) sudah dekat sebagaimana kebiasaan baru perlu dihadapi dewasa ini konvensi ketatanegaraan harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain, (1) harus ada preseden yang timbul berkali-kali; (2) preseden yang tmbul karena adanya sebab secara umum dapat dimengert atau dapat diterima; dan (3) preseden itu karena adanya kondisi politk yang ada,” urainya.
Yapiter berpandangan secara horisontal yang berkenaan dengan pengertan konvensi ketatanegaraan menurut sistem di Indonesia yang sentar akan isu Presiden 3 Periode haruslah dilakukan Konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh dalam praktk penyelenggaraannegara, melengkapi, menyempurnakan, mendinamisasi, kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.
“Menjadi harapan besar agar jangka waktu mendekati pergantian Pemerintahan harus dapat disikapi dengan arif dan bijaksana untuk memberikan edukasi positif kepada masyarakat luas guna dapat menjaga dan menghormati proses Pemilu 2024 kedepan dengan penuh khidmad,”tandasnya.(han)