Fakta Sejarah Runtuhnya Benteng Kota Martapura DI Muara Kaman Oleh VOC Tahun 1635

Pada Tanggal 7 Nopember 1635 M, terjadilah Peristiwa penyerangan Tentara VOC dengan membawa 5 Buah kapal pemburu dan 2 buah kapal bersenjata lainnya memasuki Sungai Mahakam pimpinan kapal-kapal tersebut adalah Kapten Gerit Thomassen Pool yang melakukan serangan samapi ke Ibukota Kerajaan Kutai Mulawarman di Martapura (Muara Kaman).

Pada saat itu di Kutai Lama pusat kedudukan Kepangeranan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Aji Pangeran Kiji Pati Djaya Perana sedangkan di Muara Kaman Kerajaan Kutai Mulawarman beribukota di Martapura di Pimpin oleh Maharaja Derma Setiya dan kedua adiknya.

Kerajaan Kutai Mulawarman di Muara Kaman yang saat itu berada di Ulu sungai Mahakam mendapat serangan dari kapal VOC sehingga banyak Bangsawan Tinggi Meninggalkan Ibukota Martapura, mereka melarikan diri ke Sungai Pantun Kerajaan Gelumbang di Muara Bengkal dan menyembunyikan harta-hartanya ke sebuah Gunung yang sekarang di berinama Gunung Koambeng dan Sungai Perian Kerajaan Indu Anjat serta ke Sentawar Melak serta ke lain tempat yang dianggap aman.

Pada tahun 1672 kapal VOC
bernama Chialoup de Norman di kepalai oleh Kapten Poeloes de Bock besaera Kapten Pool dan Kapten Pieteraz dating ke Kutai membuat perjanjian sampai tiga tahun kemudian tepatnya tanggal, 23 Desember 1675 utusan VOC bernama Nachoda Van Heys tidak di hiraukan oleh Aji Pangeran Maja Kusuma dari Kepangeranan Kutai Kartanegara di Kutai Lama malah kapal VOC di serang oleh 200 orang dari benteng dan mengirim kapal-kapal yang sedalam 12 kaki serta mengakibatkan kerugian besar pada VOC.

Kejadian diatas tertulis dalam laporan tertanggal 23 Desember 1675 yang disampaikan oleh VOC kepada pihak Kerajaan Belanda di Nederland, semua hal tersebut diatas merupakan isi dari laporan tersebut kita mengetahui benteng Kota Martapura di Muara Kaman di hancurkan oleh VOC bukan oleh Kepangeranan Kutai Kartanegara yang saat itu di bawah kekuasaan Sultan Banjar sesuai dengan Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai merupakan salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, Raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar.

Sekitar tahun 1620 Kepangeranan Kutai Kartanegara berada di bawah pengaruh Kesultanan Tallo di Makassar, atas perjanjian VOC dan Kesultanan Banjar pada tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Kepangeranan Paser dan Kepangeranan Kutai Kartanegara hingga kembali di Kuasai Kesultanan Banjar.

Dengan demikian sejak tahun 1636, Kepangeranan Kutai Kartanegara diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622).

Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa.
Sekitar tahun 1638 (sebelum perjanjian Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin.

Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi.
Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri di antaranya Kepangeranan Kutai Kartanegara berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756.
Karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kepangeranan Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya – Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787
, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda.
Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten.

Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian wilayah
Hindia Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812.
Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar.

Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.
Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.

Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826.

Hingga saat ini kita tau perjalanan pemerintahan di muara Kaman terhitung sejak tahun 017 M, dengan berdirinya Kerajaan Sagaradiva Malaya atau (didalam prasasti yupa di tulis Vravatam Sadiva Malaya) dan sebutan Sagara tertuang di dalam yupa yang menyebut Maharaja Sri Mulawarman Naladewa adalah Putra Raja Sagara yang membangun pusat peribadatan di sebuah bukit diberinama Martapura dan candi Hindu di sebuah bukit diberinama Varekwara di kenal sekarang dengan sebutan Benua Lawas, Berubus di kaki bukit di sebut Tepian Batu dan kawasan rawanya dibangun Istana peristirahatan dari kayu telihan (ulin) tempat itu bernama Tanjung Serai, dan di benua lawas di bangun sebanyak 9 candi untuk tempat suci dan spiritualitas Maharaja Kutai Mulawarman serta menjadi tempat Upacara Kurban.

-Dari tahun 017 – 350 M
, dengan berdirinya Kerajaan Sagaradiva Malaya atau (didalam prasasti yupa di tulis Vravatam Sadiva Malaya) dan sebutan Sagara tertuang di dalam yupa yang menyebut Maharaja Sri Mulawarman Naladewa adalah Putra Raja Sagara yang membangun pusat peribadatan di sebuah bukit diberinama Martapura di seberang Muara Kaman sekarang.

Dari Tahun 350 – 1635 M Muara Kaman Merupakan Ibukota Negara Kerajaan Kutai Martapura. (Kerajaan Kutai Mulawarman) Ibukota Kerajaan Kutai Hindu Tertua Di Nusantara disaat itu di Muara Kaman hanya ada beberapa orang saja lagi menepati karena banyak bangsawan yang pergi meninggalkan Kota dan akhirnya di Muara Kaman di tempati oleh seorang Habait keturunan Arab bernama Sayid Soleman yang menikah dengan Putri Niradiah yang tinggal di Sabintulung dan Putri ini merupakan Keturunan Maharaja Kutai Mulawarman yang di Islamkan Oleh Tokoh inilah yang dimakamkan di Belakang Museum Budaya Kerajaan Kutai Mulawarman di Berubus dianggap Keramat sampai sekarang ini.

Dari Tahun 1635
1905 M Muara Kaman menjadi wilayah Voc di Bawah Gubernor di Batavia karena Ibukota Muara Kaman di hancurkan oleh 7 buah kapal pemburu belanda yang datang ke Muara Kaman dipimpin oleh 2 Kapten Nahkoda kapal perang Voc sehingga para Bangsawan Kerajaan Kutai Mulawarman pergi meninggalkan Kota dan tinggal di daerah pedalaman di tempat pelarian sehingga baru pada tahun 1905 Muara Kaman di tempati lagi oleh para keturunan pelarian dan Muara Kaman mejadi daerah pedusunan karena saat itu ada 39 lanting (Rumah Rakit) dan daerah ini di tinggalkan oleh Rakyat Kerajaan Kutai Mulawarman yang kembali dari pelarianya diantaranya sungai Kedang dan Keham di pedalaman Kota Bangun dan Sungai Perian di Muara Muntai sekarang dan Sungai Pantun di Kutai Timur sekarang.

Dari Tahun 1905 – 1906 M Muara Kaman di jadikan kampong didalam pemerintahan Hindia Belanda dan diangkatlah seorang bernama Ibrahim memerintah di Muara Kaman dan orang-orang yang semula tinggal di lanting mulai membangun rumah panggung yang menjadi Kota Muara Kaman sekarang ini.

Dalam Tahun 1906 – 1942 M Muara Kaman di pimpin penjawat oleh Residen Oost – Borneo saat itu mengankat A. Raden Ario Sastro menjadi Kepala Onderdistrict di Muara Kaman sebagai wilayah Keresidenan Oost – Borneo Kalimantan dijaman penjajah Hindia Belanda berpusat di Banjarmasin.

Dari Tahun 1942
1945 M Muara Kaman merupakan Ibukota Wilayah Son dalam Pemerintahan Ken Dalam Wilayah Syu dijaman Penjajah Jepang mengankat Moh. Seman gelar Mas Jaya Muda Sebagai Son dibawah pemerintahan Jepang.

Dari Tahun 1945
– 1950 M Muara Kaman merupakan Ibukota Wilayah Penjawata dalam Pemerintahan Afdeeling (Recinentie) Keresidenan Kalimantan Timur masa RIS dalam wilayah Istimewa Kepatihan Kutai Penjawat Pertamanya M. Saleh gelar Entje Kapitan.

Dari Tahun 1950
1957 M Muara Kaman Merupakan Ibukota Wilayah Kewedanaan Dan Keresidenan Di Kaltim maka diangkatlah A. Raden Srif Nilo sebagai Wedana di Muara Kaman.

Dari Tahun 1957
2019 M Muara Kaman Ibukota Kecamatan Dalam Wilayah Kabupaten Di Propinsi Kalimantan Timur Negara Repoblik Indonesia tahun 1957 A. Bambang Umar Oemar Rachman di angkat menjadi Camat pertama di Muara Kaman.
Melihat Sejarah Usia Kota Muara Kaman Harus di Hitung dari tahun 017-2019 dan melihat sejarah usia Muara Kaman menjadi Kecamatan baru pada tahun 1957-2019 maka hut Kota Muara Kaman 2002 tahun dan hut Kecamatan Muara Kaman 62 Tahun. “Sejarah dan membuktikan“ bahwa situs dunia di Muara Kaman yang dikenal dengan perasasti “Y U P A” yang berasal dari awal abad masehi bagian dari priode sejarah negara pertama di Nusantara dan menjadi awal perdadapan Bangsa Indonesia.


Kamis (12/09)


#fakta Swjara

Reporter NN |RED. WBN NNL

Share It.....