
KeratonKasepuhan adalah keraton yang terletak di kelurahan Kesepuhan, Lemahwungkuk, Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah.
Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo di dalamnya. Keraton Kasepuhan Karaton Kasepuhan
Patung harimau putih sebagai lambang keluarga besar Pajajaran (keturunan Prabu Jaya Dewata (Silih Wangi) di taman bundaran Dewandaru pada area utama keraton Kasepuhan.
Keraton Kasepuhan adalah kerajaan islam tempat para pendiri cirebon bertahta, disinilah pusat pemerintahan Kasultanan Cirebon berdiri.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yaitu kereta Singa Barong yang merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati.
Kereta tersebut saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Muharam untuk dimandikan. Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Di dalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Keraton Kasepuhan berisi dua kompleks bangunan bersejarah yaitu Dalem Agung Pakungwati yang didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana
dan kompleks keraton Pakungwati (sekarang disebut keraton Kasepuhan) yang didirikan oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1529 M.
Pangeran Cakrabuana bersemayam di Dalem Agung Pakungwati, Cirebon.
Keraton Kasepuhan dulunya bernama ‘Keraton Pakungwati. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat muda.
Nama dia diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Tata letak dan Arsitektur
Keraton Kasepuhan menjadi inspirasi Mataram.
Atap pada museum Sonobudoyo yang terinspirasi dari atap Limasan Lambang-teplok milik Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Keraton Kasepuhan yang dibangun oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1529 dan dahulu dinamakan keraton Pakungwati ini telah memberikan inspirasi bagi kesultanan Mataram dalam membangun keraton dan bangunan penunjangnya, menurut Yuwono Suwito ( anggota tim ahli cagar budaya dan dewan pertimbangan pelestarian warisan budaya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ) inspirasi yang diambil oleh Mataram dari bentuk arsitektur keraton Kasepuhan salah satunya adalah arsitektur dari Siti Inggil keraton Kasepuhan yang diadopsi oleh Sultan Agung Mataram dengan membuat Siti Inggil bagi keraton Mataram di Yogyakarta.
Pada prosesnya, Siti Inggil keraton Kasepuhan dijadikan dasar acuan pembuatannya.
“Beberapa arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon yang diadopsi oleh Keraton Yogyakarta, dikarenakan Keraton Cirebon jauh lebih tua dibandingkan dengan Keraton Yogyakarta, bahkan lebih tua dari sejarah awal Kerajaan Mataram Islam
Yuwono Suwito ( anggota tim ahli cagar budaya dan dewan pertimbangan pelestarian warisan budaya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) )”
Selain Siti Inggil keraton Mataram di Yogyakarta, bangunan lain yang terinspirasi dari kompleks keraton Kasepuhan adalah Masjid Margo Yuwono yang terletak di dalam benteng Baluwerti (benteng Kraton) tepatnya di Langenastran, kelurahan Panembahan,kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Arsitek pembangunan masjid Margo Yuwono yaitu Ir. Thomas Karsten membangun brunjung (bahasa Indonesia: atap yang paling tinggi) mesjid dengan mengadopsi dari arsitektur atap Tajug Wantah bercukit, adapun tritisan (bahasa Indonesia: bagian perpanjangan atau tambahan dari atap utama) yang terdapat pada bagian utama masjid dan bagian serambinya menggunakan pola konstruksi cukit (bahasa Indonesia: Garpu) seperti yang digunakan pada tritisan di bangunan terbuka area Siti Inggil keraton Kasepuhan.
Selain bangunan masjid, bangunan Museum yang juga dirancang oleh Karsten seperti museum Sonobudoyo juga terinspirasi dari arsitektur atap Masjid Agung Sang Cipta Rasa milik kesultanan Kasepuhan yang berbentuk Limasan lambang-teplok dengan mengadopsi pola konstruksi cukit pada hampir keseluruhan bangunan Museum.
Sumbar kutipan Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, S.E