WBN | Kepala Desa (Kades) Labolewa, Kabupaten Nagekeo, NTT, Marsel Ladho kepada para media dalam rangkuman wawancara di kediamannya, (9/11/2021) mengungkapkan, berkaitan dengan pengadaan tanah waduk Lambo, BPN Nagekeo dan BWS sebaiknya membuka data peta bidang tanah waduk secara terbuka kepada masyarakat luas, termasuk warga persekutuan adat Labolewa dan para ulayat.
Pernyataan yang sama kembali diutarakan Kepala Desa Labolewa, Marsel Ladho saat dihubungi media ini, (21/11/2021) melalui sambungan telepon (video call).
“BPN dan BWS buka saja datanya dari pada saya pusing. Dari pada saya jadi korban dituding macam-macam dari keluarga, saya tidak mau itu terjadi. Hitung satu-satu dan tidak repot. Kalau saya tidak repot, buka saja datanya supaya diketahui”, tegas Kades Labolewa, Nagekeo, NTT, Marsel Ladho
Update WBN, (22/11) Kepala BPN Nagekeo, Dominikus B Instatuan masih belum membuka data peta bidang tanah waduk, meski sudah berulangkali didesak masyarakat persekutuan adat Labolewa, bahkan hingga para ulayat dan warga adat mendatangi langsung Kantor BPN Nagekeo di Kota Mbay.
“Bapak mungkin lagi kecapean, tamu berdatangan terus mulai pagi sampai sore”, kata salah satu Pegawai Pertanahan Nagekeo dalam sebuah kesempatan menjawab permintaan wawancara awak media usai Kades Labolewa menyatakan harapan buka data bidang tanah waduk Lambo.
Pantauan media ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nagekeo kembali mengabaikan atau menolak permintaan Warga Persekutuan Adat Labo, Lele, Kawa (Labolewa) yang datang meminta dibuka data peta bidang tanah ganti rugi lahan pembangunan Waduk Lambo, Jumat (19/11).
Ditengah isu mafia tanah, pencaplokan tanah adat dan penilaian publik menyatakan cacat prosedur pengadaan tanah Waduk Lambo, Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa kembali mendatangi BPN Nagekeo, mereka menuntut Pertanahan membuka data kepemilikan peta bidang tanah Waduk Lambo karena dinilai sangat tidak falid atau bermasalah.
Pemilik Tanah Ulayat tidak terakomodir, misalnya suku Ebu Dai dan Ana Nuwa. Kedua Suku tersebut tidak di undang dalam evaluasi penetapan ganti rugi tanah, sedangkan kedua suku tersebut mempunyai tanah sangat strategis pada titik nol dan jalan masuk Pembangunan Waduk Lambo.
Yang tercatat atau terakomodir dalam data, kebanyakan nama-nama penggarap, bukan pemilik asli atas tanah. Ironisnya, ditemukan suku fiktif dalam daftar peserta musyawarah ganti rugi yang digelar di Pepita Hotel, Mbay.
Suku Wawo Lobo Toro misalnya, adalah sebuah nama palsu yang tidak pernah ada di Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT, alias Suku Palsu, namun tertera dalam daftar nama peserta musyawarah penetapan ganti rugi.
Ket. Foto Berita : Kepala Desa Marsel Ladho
WBN│Tim│Wil│Editor-Aurel