
Media Warisan Budaya Nusantara
Ratusan masyarakat yang tergabung dari 4 desa turun ke jalan mendeklarasikan sikap penolakan proyek geotermal di lokasi air panas Desa Tonggurambang, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo Pulau Flores Provinsi NTT, pada Minggu (25/05)
Pantauan media WBN, masyarakat 4 desa yang turun ke jalan yaitu Desa Aeramo, Nangadhero, Marapokot dan Tonggurambang.
Selain warga masyarakat, turun bersama dalam aksi tersebut yakni tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat Suku Dhawe. Mereka berkumpul di Desa Marapokot menegaskan sikap penolakan terhadap proyek Geotermal.
Diketahui, Desa Nangadhero, Marapokot, dan Tonggurambang berada di atas tanah Ulayat Suku Dhawe. Para pelaku adat dan ketua lembaga adat bersama masyarakat bersepakat menolak keberadaan proyek geotermal di Desa Marapokot.
Menurut mereka, proyek geothermal di wilayah tersebut bertentangan dengam butir-butir penyerahan lahan Irigasi tahun 1952 bersama Wakil Presiden Ir. Mohamad Hatta.
Pada saat itu, jelas mereka, tiga suku besar yakni Dhawe, Lape, dan Nataia menyerahkan lahan seluas 6.880,50 hektare untuk Irigasi.
Hal ini juga dipertegas oleh Ketua Lembaga Pemangku Masyarakat Adat Dhawe (LPMD) , Mbulang Lukas, SH. Tentang Penyerahan tanah oleh Suku Dhawe yang diperuntukan untuk Iahan Irigasi.
“Bahwa Suku Dhawe bersama dia auku lainnya Menyerahkan lahan untuk irigasi dengan penegasan-penegasan adat yang terkandung di dalamnya. Alih fungsi lahan adalah perbuatan melanggar hukum. Negara hadir harus menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Bagaimana mungkin titik titik yang menjadi pusat pembangunan proyek geotermal berada di lahan irigasi dan pemukiman warga,” pungkasnya.
Lebih lanjut Mbulang Lukas menegaskan bersama masyarakat adat menolak pembangunan geotermal di lahan wilayah ulayat Suku Dhawe, karena berpotensi merusak lingkungan pertanian serta menggangu pemukiman Warga Desa Marapokot dan sekitarnya.
“Kita lihat contoh-contoh pembangunan proyek geotermal di kabupaten tetangga, di Mataloko Bajawa misalnya, sangat berbahaya dan merusak lingkungan. Dampaknya sangat besar. Alam punya reaksi yang tidak dapat diprediksi secara baik oleh kita manusia. Sesuai amanat menteri pertanian berdasarkan instruksi presiden fokus pada swasembada pangan. Menteri Pertanahan juga melarang keras alih fungsi lahan pertanian sebagai perwujudan dukungan swasembada pangan. Maka dari itu sebagai ketua lembaga saya mengutuk keras alih fungsi lahan dan menolak proyek geotermal di wilayah adat Suku Dhawe”, tegas Lukas.
Mirip senada diutarakan tokoh agama Katolik Pastor Paroki Aeramo RP. Marselinus Kabut, OFM.
“Sesuai amanat Bapak Uskup, supaya kami berjalan bersama warga dan menyatakan sikap untuk menolak proyek Geotermal karena titik-titik yang sudah ditandai di Desa Marapokot ini dekat dengan pemukiman warga dan disini juga adalah daerah pertanian sehingga menimbulkan keresahan bagi warga. Maka dari itu, hari ini kami bersama warga dan pemilik ulayat Suku Dhawe melakukan Deklarasi penolakan Proyek Geotermal”, ungkapnya.
Selain itu penolakan juga datang dari tokoh masyarakat melalui tokoh Masyarakat Marapokot, Bonevantura Kua.
“Kami sebagai tokoh masyarakat bersama tokoh adat Suku Dhawe dan rohaniwan-rohaniwati menolak pembangunan proyek geotermal ini, karena titik-titik pembangunan proyek berada di pemukiman kami”, tutup Bonevantura Kua.
WBN – Wilibrodus