Kisah Manusia Ibu Padi Atau Ine Pare Dalam Tradisi Nida, Ende Flores

PERS WARISAN BUDAYA NUSANTARA – REDAKSI NTT

Oleh : Aurelius Do’o – Mengenang Pesan Ayahanda Tercinta, Alm. Fransiskus Lando.

Nida adalah Nama dari sebuah Suku besar yang hidup dalam Wilayah Kecamatan Detukeli, di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kilas rangkuman ini membatasi penguraian tulisan tentang apa dan siapa itu Nida. Ini hanya menukik sebuah kisah. Manusia Menjelma Menjadi Padi dalam Tradisi Kepercayaan Adat Budaya Nida yang hidup di Pulau Flores sampai saat ini dan selama-lama nya.

Tulisan ini dimuat sebagai rangkuman wawancara tunggal nara sumber salah satu Tokoh Adat Nida, Fransiskus Lando, guna diteruskan kepada segenap generasi, untuk Poestaka Baca Budaya – Bagi satu generasi ke generasi lain.

Semasa hidup, Franssiskus Lando mengungkapkan, rangkuman INE PARE NIDA dalam perjalanan penggalian oleh dirinya selaku generasi adat, mulai serius digarap sejak Tahun 1963. Sejumlah Tokoh Adat dan beberapa Mosalaki Besar di wilayah Lio Utara diakui menjadi nara sumber Tutur Lisan INE PARE. Berikutnya, Dua Nama besar Nara Sumber lainnya menjadi Nara Sumber Utama bagi Fransiskus Lando dalam penemuan alur kisah Ine Pare adalah nara sumber : Woda Nggae dan Do’o Dosi. Penggalian untuk standar menjadi bahan tulis atas Kisah Ine Pare maupun Ine Pare sebagai Ceritera Rakyat setempat, Hikayat, dan lain-lain, berdasarkan kesaksian Fransiskus Lando, untuk Lio Utara Ende, secara bertahab dimulai sejak tahun 1963. Lebih lanjut penggalian resmi kepada Nara Sumber Utama, yakni Woda Nggae dan Do’o Dosi, terjadi di Kampung Nida Nuamuri, pada tanggal 23 November Tahun 1963″. Diantara sahabat dan rekan Pastor Piet Petu, Ledalero, semasa hidup atau pada era nya, Franssiskus Lando adalah salah satu rekan diskusi adat budaya yang disambangi Pastor Piet Petu dari Poestaka Seminari Ledalero dalam perjalanan penggalian kisah-kisah dan bukti-bukti sejarah, adat dan budaya”.

Tulisan ini juga sebagai karya pesan-pesan hidup dari seorang sosok Pemangku Jabatan Penting dalam Struktur Adat Budaya Nida, Almarhum Fransisiskus Lando, Putra dari Do’o Dosi.

Adat Budaya adalah Jati Diri sebuah Bangsa. Itu lah ketetapan hukum nya.

Keli Koja atau Gunung Kenari

Keli Koja, Keli berarti Gunung, Koja berarti Kenari. Gunung Kenari.

Keli Koja adalah sebuah Gunung, bukan gunung berapi. Dalam Kisah Peradaban Manusia Bangsa Nida, diketahui Keli Koja telah berganti nama menjadi Keli Ndota.

Keli berarti Gunung, Ndota berarti Cincang atau memotong – potong hingga menjadi bagian-bagian terkecil atau ter-urai habis.

Letak keberadaan Keli Koja sangat berdekatan dengan sejumlah Kampung di wilayah Kecamatan Detukeli, yakni Kampung Nuamuri, Kampung Wololanu, Kampung Detuboro, Kampung Lewagare, Kampung Bengapau, Kampung Watunggere.

Sejumlah Kampung tetangga adat lainnya juga tidak kalah dekatnya dengan Keli Koja, misalnya Kampung Detu Ara Desa Maurole Selatan, Kampung Wolo Balu, Kampung Mbotu Pau, Kampung Pemo Wawi, bahkan Kampung Kuru Kota.

Dalam Tradisi Adat Nida, Keli Koja merupakan Gunung yang setiap tahun nya Orang Nida melakukan pemenuhan Ritual Adat (Nggua Bapu) Nida, dengan wajib melalui fase ritual penghormatan tertinggi melalui ungkapan syukur kepada Du’a Gheta Lulu Wula, Ngga’e Ghale Wena Tana. Ritual penghormatan tertinggi sambil meniti harapan demi harapan kepada Wujud Tertinggi, Sang Ilahi sebagai Penguasa Langit dan Penguasa Bumi beserta alam dan seluruh isi nya : “Du’a Gheta Lulu Wula, Ngga’e Ghale Wena Tana”.

Warisan Legenda Keli Koja adalah Gunung dimana seorang Manusia, seorang Putri Jelita Menjelma Menjadi Padi. Selanjutnya didebut INE PARE atau Ibu nya Padi. Kisah Adat dan Budaya ini dijaga turun temurun, pantang dirubah dan pantang dihentikan.

Adat Nida menyebut “Dau Welu No Pi Li, Dau Rebhe No Pebe Lape, yang berarti Harus Dilestarikan Sepanjang Masa.

Jika demikian, secara ratio bisa disimak, bahwa Kisah Manusia Menjelma Menjadi Padi dalam warisan adat budaya  Nida, bukan sekedar hisapan jempol semata. Sebab, segala wujud kebendaan, tempat kejadian, lokasi ritus, peninggalan bebatuan kuno, tahapan ritual dan ataupun pilar-pilar kejadian dan lain-lain, masih dijaga utuh hingga saat ini.

Dikisahkan, seorang Putri Cantik (Wanita) bersama 6 (Enam) orang saudaranya menuju Keli Koja. Di Puncak Keli Koja terjadi lah hal-hal sakral lanjutan, pada ujung kisah dia menjelma menjadi Padi untuk menyelamatkan mereka semua lalu menjadi menu makanan bagi semua orang.

Terhadap kisah Dewi Padi dalam Adat Nida, dipastikan bahwa para Mosalaki ataupun Barisan Pemimpin Adat setempat bersama seluruh keturunan Bangsa Nida tidak akan membuka secara habis-habisan tentang Dewi Padi, apalagi menyebut nama-nama manusia sakral yang hidup di Keli Koja, terlebih nama Sang Putri Jelita yang akhirnya menjelma menjadi Dewi Padi, dalam bahasa daerah setempat disebut INE PARE (Ine = Ibu, Pare = Padi).

Disini penulis menyentil kata Dewi menyiratkan sesosok Putri Jelita, namun juga adalah Ibu nya Padi, ditilik dari kosa kata Ine (bahasa setempat) = Ibu, Mother.

Demikian juga terhadap tulisan ini. Tidak mengurai sampai sekecil-kecilnya tentang Dewi dan Ine Padi dalam Tradisi  Nida. Sebaliknya hanya untuk memastikan bahwa pada Tradisi Nida juga memiliki parade kekayaan adat budaya dengan nilai – nilai kesalehan lokal termaktub di dalamnya.

Mengapa tidak membuka semua?.

Dalam Tradisi Adat Nida, ada yang disebut dengan istilah “Pire”. Pire berarti Pantang, Pemali, Tidak Boleh asal-asalan Vulgar menulis, menyebut dan seterusnya. Sebab Ine yang juga dapat ditafsir sebagai Dewi Padi pada adat Nida berkaitan erat dengan hal ikhwal kesakralan adat, padat mistis, dan juga bersifat sangat pokok dalam jantung tata tradisi peradaban hidup warga setempat.

Kedatangan Sang Dewi Padi

Rombongan kedatangan sekelompok manusia yang lalu diketahui sebagai kelompok manusia sakral membawa Dewi Padi, disebutkan berjumlah (tujuh) orang.

Dari mana asal mereka, disebutkan mereka mengelilingi dunia.  Rute perjalanan yang berhasil dikisahkan secara turun temurun, adalah melewati Malaka Boko dan Malaka Bewa.

Boko berarti Pendek, Bewa berarti Panjang. Malaka Pendek dan Malaka Panjang. Kedatangan mereka di namakan dengan sebutan “Mbawa No Fata Bata – Leta No Nopo Neta”.

Bisa di artikan bahwa kedatangan manusia-manusia itu dikiaskan “berlayar memasuki Puncak Keli Koja, menggunakan Perahu yang di bawa arus dan gelombang lautan lepas. Lalu berlabuh dan berjalan di atas tangkai dan tali temali kayu Neta (sebuah nama tumbuhan dalam bahasa Lio, Nida atau bahasa setempat).

Digambarkan, rute perjalanan yang di lalui oleh Tujuh Manusia itu adalah :  Malaka Boko – Malaka Bewa – Mau Alu – Tana Ai – Kowe Sika – lalu tiba di Tanah Ndondo.

Saat tiba di Tanah Ndondo, terjadi lah insiden saat mereka hendak menghidupkan sebuah tungku api, lalu seorang diantaranya mengalami luka sabetan. Dalam Bahasa Adat Nida disebut dengan : “Toa Sambi Neka Taka”, hingga kaki yang terluka itu  terus menerus mengeluarkan darah, tidak bisa dihentikan lagi.

Luka dan darah itu terus mengalir “Toa Sambi Neka Taka”. Sobekan luka nya pun terus membesar. Pada akhirnya mulai menampakan buliran-buliran padi dari balik sobekan luka yang bersimbah darah itu.

Meski demikian, perjalanan menempuh rute demi rute harus tetap mereka teruskan. Berikut rute lanjutan perjalanan yang ditempuh, yakni : Keli Kima – Membu Tana Toro – Lepembusu – Watu Wula – Keli Kiku – Sora – Wawo Oja – Keli Koja (Nida).

Setibanya di Keli Koja, Tujuh orang Manusia itu mulai membuatkan tempat tinggal mereka untuk beristirahat dan hdup di Keli Koja.

Sementara itu, kondisi luka, simbah darah atas kejadian di Tanah Ndondo terus menerus mengalir dari kaki seorang diantara mereka. Akibatnya, badan kian melemah, sekujur tubuh semakin pucat lalu mulai menggejala tanda-tanda kematian pada sang penderita.

Siapa kah yang Terluka itu?

Dia lah Sang Dewi dan Sang Ibu Padi dalam Adat Nida.

Dikisahkan, dia adalah Seorang Putri Jelita yang berada diantara saudara-saudara nya dalam perjalanan menuju Keli Koja.

Dengan kondisi yang mulai perlahan sekarat, Sang Putri Jelita akirnya berinisiatif untuk mulai memberikan pesan-pesan kepada saudara-saudara nya.

Sementara dalam kondisi yang sama, semua saudara nya mulai mengalami kelaparan hebat, sebab mereka dilanda ketiadaan bahan makanan cadangan di tempat itu, Puncak Gunung Keli Koja.

Mereka semua terancam kematian serentak, sebab kelaparan mulai menggerogoti satu per satu diantara mereka. Masing-masing mulai diserang kondisi lemah. Mereka semua mulai pasrah menunggu ajal menjemput.

Penulis tidak memuat susunan bahasa adat dan konstruksi pesan dalam rangkaian Bahasa Adat Nida pada sesi kritis ini, sebab diyakini sebagai  “Pire” atau pantang, tidak dapat disajikan begitu saja, sebab berbau ayat sakral atau keramat dalam sebuah tradisi adat.

Ok lanjut. Dalam kondisi yang sama-sama kritis itu, Sang jelita yang perlahan menuju sekarat, mulai lah menurunkan pesan-pesan keramat kepada saudara-saudara nya.

Inti pesan-pesan itu adalah memerintahkan saudara laki-laki nya untuk segera men-cincang tubuh nya hingga sekecil-kecilnya lalu harus di kumpulkan dalam kumpulan – kumpulan potongan tubuh.

Pesanan dan perintah sang jelita sifatnya harus diikuti atau dilarang menolak, sebaliknya wajib di turuti.

Dikisahkan, saat memberikan pesan-pesan terakir itu, kondisi luka Sang Jelita kian membesar. Begitu juga banjiran darah nya terus mengalir. Sementara itu, bulir – bulir padi kian bermunculan, merambah di seluruh tubuh, hingga akirnya si Jelita perlahan kakuh dikelambui darah nya.

Isi Pesan Sakral Sang Dewi atau Ibu Padi Dalam Tradisi Nida

“Jika engkau tidak memotong-potong tubuh ku ini yang sudah berlumur darah dan buliran padi, maka kita semua akan mati di tempat ini. Saya akan mati karena darah terus mengalir, luka kian merambah. Kalian semua akan mati karena kelaparan tanpa perbekalan apa pun di puncak gunung ini. Maka engkau wajib mengikuti perintah ku ini, sebab, nanti setelah engkau mencincang seluruh tubuh ku, dan menjalankan semua tahapan sesuai pesan-pesan ku, tidak lama lagi setelah engkau mengumpulkan kembali seluruh potongan tubuh ku, lalu membungkus dan menutupinya, maka pada saat di buka kembali potongan tubuh ku itu, kamu semua akan menemukan tubuh ku telah menjadi padi yang banyak dan berlimpah rua. Jika sudah demikian, kalian wajib mengolah nya dengan penuh perasaan, agar menjadi makanan bagi kalian, sebagiannya harus dijadikan bibit unggul untuk di tanami. Kalian semua harus bercocok tanam Padi, sebab pada saat itu aku datang untuk tumbuh di ladang-ladang yang telah kalian sediakan, agar seterusnya kembali menjadi padi lalu dijadikan sebagai makanan bagi semua orang. Berbagi lah makanan (padi-beras) yang kamu miliki nanti dibagi kepada semua orang, sebab itu adalah tubuh ku yang ku korban kan untuk semua orang. Jangan biarkan manusia kelaparan. Jangan perna membiarkan manusia mati karena tanpa makanan. Itu lah tugas ku hadir di tengah-tengah kehidupan ini, yakni untuk memastikan bahwa semua manusia memiliki makanan berkecukupan. Maka (nama sang dewi jelita ) aku lah Ibu Padi. Padi adalah Manusia. Ingat lah ini sepanjang masa”, kutipan versi terjemahan umum, bunyi pesan-pesan Sang Gadis Jelita, dalam Adat Tradisi Bangsa Nida menyebut Ine Pare, Ine Ghele Keli Koja. Dewi dan Ibu Padi ada di Keli Koja.

Usai menerima pesan-pesan itu, bersama tangis dan air mata duka, walau dada terus gemetaran sedih, pada ketidak berdayaan kondisi, sang saudara laki memenuhi perintah (dikisahkan) sebagai wujud penghormatan yang sangat tinggi kepada sang saudari.

Sang Saudara laki akhirnya menunaikan tugas. Dia pun mulai memotong-potong tubuh saudari nya, hingga akirnya terbagi-bagi menjadi sangat kecil, sesuai amanat yang sudah diungkapkan.

Lalu, potongan – potongan tubuh itu di kumpulkan dan di kelompokan sebagai kumpulan-kumpulan potongan tubuh. Hasilnya menjadi begitu banyak.

Selanjutnya, sesuai yang telah dipesan, jejeran kumpulan potongan tubuh itu ditutupi dengan dedaunan khusus yang sudah diamanatkan terlebih dahulu.

Singkat ceritera, lalu tiba lah waktunya dimana kumpulan potongan tubuh yang tadinya sudah ditutupi dedaunan itu harus di buka kembali dan betapa mengharukan, semuanya telah berubah menjadi padi yang begitu banyak, berlimpah rua.

Segala hal yang sudah diamanatkan oleh Sang Saudari pun dipenuhi tahap demi tahap. Maka tergenapi lah seluruh potongan tubuh itu benar-benar menjadi padi. Mereka pun mulai mengolah nya menjadi beras. Selanjutnya mereka menjadikan nya sebagai perbekalan hidup, bercocok tanam Padi, dan seterusnya secara turun temurun.

Sampai saat ini dan selama-lamanya Tradisi Nida terus melestarikan berbagai ritual maupun pantangan – pantangan keras dalam dunia pertanian, apalagi disaat musim bercocok tanam padi telah tiba.

Jika ritual adat (disebut : Nggua Bapu) belum di laksanakan, maka sebiji padi pun tidak dimasukan ke dalam perut bumi (menanam) pada lahan-lahan pertanian mereka, sebab itu merupakan pantangan berat.

Hal bercocok  tanam padi selalu didahului dengan Nggua Bapu dan penghormatan kepada Du’a Ghetwa Lulu Wula, Ngg’e Ghale Wena Tana. Artinya : dibuka dengan Sembah Sujud syukur dan lain-lain kepada Allah Penguasa Langit dan Bumi beserta segenap isinya.

Demikian juga disaat musim panen padi tiba. Sekuning apa pun padi di ladang-ladang mereka, sebutir pun tidak dipaneni, jika ritual penghormatan khusus dibawah komando Mosalaki (pemimpin adat budaya), belum digelar. Jika sudah digelar, baru lah ramai-ramai memetik padi di ladang-ladang milik mereka.

Tradisi Nida dalam generasi terdahulu, juga dikenal sangat pantang di saat mengkonsumsi (makan) nasi, pantang jika sebiji nasi jatuh dari piring atau jatuh dari tangan lalu dibiarkan tergeletak lama di tanah. Jika sebiji nasi jatuh ke tanah, maka ilmu nya adalah, sekotor apa pun biji nasi itu, harus di pungut lagi, di bersihkan, lalu dimakan dan telan.

Sebab, Padi dalam Tradisi Nida, adalah Manusia. Padi adalah Darah dan Daging Manusia yang Hidup dan selalu Hidup selamanya. Padi memiliki Roh Hidup bagi Kehidupan.

Keli Koja Menjadi Keli Ndota

Sejak saat itu lah nama Keli Koja berganti menjadi Keli Ndota sampai selama-lama nya.

Keli Koja atau Keli Ndota adalah lokus atau lokasi dimana Seorang Dewi di cincang-cincang dalam kondisi masih hidup, lalu menjadi Padi yang berlimpah rua. Selanjutnya menjadi makanan yang sangat menyehatkan dan menghidupi manusia.

Keli Ndota berasal dari kata Keli yang berarti Gunung, Ndota berarti Cincang, Memotong-potong sampai sekecil-kecilnya. Ya, Keli Ndota.

Letak Keli Koja yang telah berubah nama menjadi Keli Ndota sampai saat ini tegak berdiri menaungi Kampung Nida dan parade kampung di sekitarnya.

Ya, tidak juga di-kira, Padi adalah juga Mahkota Hidup pada dada Burung Garuda Bangsa ini. Bulir bulir Padi terpancang diantara Bintang, Rantai, Beringin, Banteng, dan Kapas (Padi dan Kapas) Garuda.

Bukan juga asal ada nama, jika di Kabupaten Ende Pulau Flores, NTT juga berdiri tegak sebuah gedung besar yang diberi nama Gedung INE PARE di Kota Ende.

Terimakasih.

Sumber Utama Dokumen Wawancara Rangkuman : Almarhum Ayahanda Fransiskus Lando. Tuhan membebaskan semua letih pada hidup abadi jiwa mu Ayahanda tercinta. Engkau kini di Taman Firdaus itu. Tempat yang selalu Kau Idam-Idamkan dalam Iman dan Takwa Hidup kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Penulis : Aurelius Do’o. Jurnalis. Asal Nida, Kecamatan Detukeli, Ende, (Ayah : Nida, Ibu : Nuapu, Detukeli, Wolobheto)

Share It.....