Tut Wuri Handayani merupakan buah pikiran dari Ki Hajar Dewantara yang dijadikan semboyan di dunia pendidikan dan teks tersebut tercantum dalam logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia. Kita mengenal Tut Wuri Handayani bersamaan dengan mengenal Pahlawan Nasional sekaligus tokoh Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara.
Kita mendapatkan informasi Tut Wuri Handayani mulai dari SD, SMP, SMA dan seterusnya, namun kita tidak mendapat penjelasan siapa pencipta logonya. Sampai penulis pun secara tidak langsung menyimpulkan tulisan dan logo Tut Wuri Handayani penciptanya Ki Hajar Dewantara. Anehnya sampai lulus Perguruan Tinggi dan menjadi pendidik serta lulus pra jabatan tahun 2006, penulis tidak pernah mendapat info siapa pencipta logo Kemendikbud tersebut.
Sudah sekian lama tertanam di pikiran, melihat logo Tut Wuri Handayani, penciptanya pasti Ki Hajar Dewantara. Tidak salah memang, tapi di sana ada jasa ide pembuat logo. Berarti pencipta logo tidak dikenalkan di sekolah-sekolah, sampai kami “pareumeun obor” puluhan tahun. Kami merasa bodoh, tidak mengenal seniman dibalik logo Tut Wuri Handayani tersebut. Mungkin sampai sekarang pun masih banyak para siswa yang tidak mengenal, siapa pencipta logo di topi dan baju seragam mereka.
Kita hanya mengenal semboyan Tut Wuri Handayani, tanpa berpikir di bawah tulisan ada gambar burung putih, api, buku dan pena, siapa pencipta gambar tersebut ?.
Akhirnya 2 Mei 2019, setelah hampir 15 tahun penulis menjadi pendidik, baru mendapatkan info siapa pembuat logo Kemendikbud. Orang yang paling berjasa dibalik pembuatan logo tersebut ternyata seorang seniman lukis Bandung yaitu Basuki Bawono (Pak Bas).
Ternyata orang yang sering bertemu saat berbincang tentang seni, berkarya bersama dan menghadiri pameran adalah orang yang berjasa di dunia pendidikan juga. Haduh…, karena tidak ada info sejak dulu tentang sejarah logo Tut Wuri Handayani, penulis dengan Pak Bas hanya ngobrol seputar lukisan dan karya seni, tanpa menyentuh soal pendidikan atau logo. Ironi memang, diprediksi tidak ada sosialisasi di setiap pendidikan tentang orang yang berjasa dalam pembuatan logo Tut Wuri Handayani.
Akhirnya, penulis berinisiatif bertemu langsung ke rumah beliau, kebetulan waktu itu bulan Ramadan jadi sambil ngabuburit. Penulis ingin memastikan bagaimana asal usul logo terbentuk dan menyusun sejarah pembuatan logonya. Ini penting jangan sampai terulang lagi ke generasi yang akan datang, sampai tidak mengenal orang yang berjasa di lingkungan pendidikan mereka.
Berikut ini sekilas hasil bincang-bincang dengan beliau.
Nama lengkap pemberian orang tuanya adalah Basuki Bambang Heruwono. Sehari-hari biasa dipanggil Basuki Bawono (Pak Bas). Bawono merupakan singkatan dari Bambang Heruwono, diambil bagian depan Ba dan bagian akhir wono jadi Bawono. Pak Bas lahir di Bandung, pada tanggal 16 Desember 1948. Ayahnya seorang tentara. Beliau tumbuh dan sekolah di Bandung, serta terbiasa dididik tegas dan disiplin oleh Ayahnya. Sejak SMA Pak Bas sudah mempunyai penghasilan sendiri, beliau bekerja sebagai illustrator dan menggambar potret untuk teman-temannya. Masuk kuliah pada tahun 1971 jurusan Desain Grafis ITB. Karena keasyikan kuliah sambil kerja dan tidak ada batasan waktu ketika itu, Pak Bas kuliah sampai 11 tahun. Tiap semester, Pak Bas hanya mengontrak 2 SKS, karena sisa waktunya asyik digunakan untuk bekerja di bidang seni. Karena lama belum lulus sampai tidak usah bayar SPP, hehe. Akhirnya tahun1981 beliau lulus juga kuliah.
Periode 1965 -1980, Pak Bas mengerjakan ilustrasi di Majalah Sunda, Buku-Buku Pelajaran, Pocket Book terbitan Gramedia, Komik, Prangko, Kalender, Brosur Telkom, Pos Giro, Pertamina, dan PT. Pupuk Kujang. Setelah lulus, dari tahun 1981-1999 beliau mengelola studio desain dan advertaising serta belajar melukis sendiri. Selain itu mondar-mandir ke beberapa kota untuk mengerjakan proyek seni. Relief Burung Garuda di Gedung Pancasila dan dekorasi kegiatan Festival Istiqlal, merupakan buah karya Pak Bas.
Mengenang Ganako dan Sayembara Logo
Sekitar tahun 1965-1968, semasa SMA Pak Bas menjadi illustrator di Ganako. Ganako merupakan penerbit dan percetakan, milik keluarga Pak Uyéng Suwargana (Budayawan Sunda/Uyéng Su) berlokasi di antara Gedung Indonesia Menggugat dan PT Kereta Api. Namun sayang gedung Ganako sekarang sudah tidak bisa dilihat lagi karena dijual oleh keturunan pemiliknya dan sekarang berubah menjadi gedung BNI 46.
Ketika masih bekerja di Ganako, Pa Bas mendapat info dari Pak Uyéng, untuk mengikuti Sayembara Logo Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Hanya punya waktu sehari, Pak Bas berusaha untuk mengikuti sayembara dan mengirim karyanya ke Jakarta. Desain Logonya dibuat di kertas ukuran A1 atau kertas karton Manila saat itu. Menurut Pak Bas, dari desain logo yang dibuatnya dengan logo yang sekarang hanya sedikit perubahan yaitu di warna dasar. Desain gambar blencong yang utama tetap milik Pak Bas yang dipakai. Warna dasar desain Pak Bas waktu itu kuning, oleh tim juri digunakan warna biru muda seperti yang terlihat sekarang logonya.
Saat itu pengumuman pemenang sayembara, diinfokan melalui Surat Kabar. Kala itu Pikiran Rakyat yang dijadikan rujukan. Sedikit mengenang, info pengumuman pemenang didapat dari tetangganya, nama Basuki Bawono dari Cikaso tercantum dan terpilih menjadi 10 terbaik dari ribuan pengirim se Indonesia. Dari 10 peserta terbaik, 3 peserta dari Bandung, yaitu Basuki Bawono, Nana Ardina (almarhum) dan Agus Haryoto (almarhum). Juri dan tim seleksi yang dipercaya panitia saat itu dari ASRI dan ITB. Pengiriman Hadiah masih diweselkan. Pa Bas mendapat Hadiah Rp.500, mungkin sekitar 5 juta kalau dibandingkan dengan ekonomi sekarang. Saat itu tidak ada pemanggilan pemenang ke Jakarta, hanya dikasih katalog kecil memuat keterangan pemenang sayembara. Katalog tersebut pun sekarang sudah tidak ada, karena ada yang memimjam dan tidak kembali.
Menurut Pak Bas, sebelumnya logo P dan K berupa burung Hantu, pakai kaca mata, memegang buku. Logo tersebut kemungkinan peninggalan zaman Belanda. Dirasa kurang menarik akhirnya Dinas P dan K menyelenggarakan Sayembara Logo baru tahun 1977.
Ide Logo
Desain logo yang dibuat P Bas, idenya dari lampu blencong pada pertunjukan wayang kulit. Beliau teringat alat penerang untuk pertunjukan wayang kulit yaitu sebuah lampu dengan hiasan burung yang disebut Blencong atau Belencong. Maknanya, dengan lampu belencong, pertunjukan wayang menjadi semakin hidup dan menarik. Warna yang dipakai dalam desain logonya diantaranya, kuning, biru tua, dan hitam.
Setelah diadakan modifikasi, akhirnya melahirkan sebuah Lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 6 September 1977 No: 0398/M/1977.
Penulis, Guru Seni Budaya SMPN 35 Bandung