Lumajang-Jawa Timur, Masyarakat pinggiran lintas generasi ini, membuktikan eksistensinya dibidang kesenian dan kreativitasnya, Tidak hanya menjadi pelaku, mereka juga memproduksi kebutuhan seni, dari tangan mereka sendiri secara independen berkelompok dengan sekitarnya.
Yaitu kesenian “Barong Cokot” darimana lagi kalau bukan dari Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Sebuah wilayah terpencil di Kabupaten Lumajang, kesenian “Barong Cokot” ini menjadikan salah satu kebanggaan masyarakat setempat.
Sebagai masyarakat, harus tetap bangga dengan proses mempertahankan budaya kesenian leluhur yang selama ini sedikit memudar.
Dengan “Barong Cokot” ini akan segera dihidupkan kembali kesenian tradisional dijaman yang serba ada dan digital.
“Barong Gunung”
bergerak mengikuti ritme alam dan tubuh kejelatahan. Seakan berbicara dengan gunung, pasir, sungai dan tanah subur. Penari seakan berdialog dari kekuatan tubuh-tubuh mengalirkan sebuah aura positif.
“Mari kita dukung karya tari pelaku tradisi ini untuk tampil di Festival Lima Gunung (FLG) XVIII 2019 di Magelang, pekan mendatang,” ungkap Tien.
“Barong Cokot” merupakan seni tradisional yang sudah berumur ratusan tahun, dan memiliki 17 ukel lama pakem (ukel = gerakan tarian).
“Ini berbeda dengan barong devil nogoan atau yang disebut barong keprukan,” tegasnya.
Untuk saat ini tarian “Barong Cokot” hampir punah, tapi dengan semangat yang dimiliki Tien dan anak-anak seniman pinggiran mencoba mempertahankan tarian jelata ini.
“Saya bukan siapa-siapa, saya orang pinggiran yang tidak ingin budaya ini punah dan anak cucu kita kehilangan akar budayanya,” ujarnya lagi.
Sebab menurut Tien, seniman tradisional pinggiran nasibnya sangat memprihatikan, hidup bosan mati enggan.
Karena tidak ada kepedulian dari pemerintah. Makanya untuk saat ini entah bagaimana caranya kami harus bangkit dan brangkat ke FLG,” pungkasnya.
Kesenian ini jangan sampai punah, karena ini budaya warisan leluhur yang sarat dengan makna.
Reporter : Fuad
Editor : Hendra
RED-WBN HS