Sejarah Kampung Ola Dhawe Di Nagekeo Dan Harapan Yang Masih Terbungkus

Pers Warisan Budaya Nusamtara

Ola Dhawe adalah sebuah kampung adat atau kampung purbakala yang terletak di wilayah Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Kampung Ola Dhawe terletak di puncak bukit yang memiliki beberapa anak kampung bertingkat-tingkat, dengan jurang yang mengelilinginya dan alam yang masih sangat asli.

Di bawah kaki bukit tersebut terdapat pertemuan dua aliran sungai yaitu aliran sungai Aesesa dan aliran sungai Aemau.

Deretan anak kampung  dihuni oleh beberapa keluarga.

Anak Kampung pertama bernama Ulu Ola yang dihuni oleh keluarga Dhawe. Anak Kampung kedua bernama Anawegu yang dihuni oleh keluarga Ana Kodha Goru.

Anak Kampung ketiga bernama Auradu yang dihuni oleh keluarga Eko Ga’e. Anak kampung keempat bernama Kali yang dihuni oleh keluarga Dhae Wio. Anak Kampung kelima bernama Woloboko yang dihuni oleh keluarga Dhae Bhubhu.

Sedangkan anak kampung keenam bernama Dhoa Kata yang saat ini sudah tidak ada lagi penghuninya.

Rangkaian anak kampung tersebut membentuk satu kesatuan masyarakat adat yang bernama Ola Dhawe.

Kesatuan Masyarakat adat Ola Dhawe disebut Ulu Eko yaitu “Ulu Ola Dhawe, Eko Dhoa Kata”.

Setiap keluarga yang menempati anak kampung masing-masing memiliki sejarah asal-usul dan kedatangannya.

Sumber sejarah asal-usul dan kedatangan diperoleh melalui ceritera lisan secara turun-temurun berupa legenda dan juga berupa fakta historis.

Namun pada tahun 1940 seorang imam Katolik bernama Pastor Paul Arndt, SVD melakukan pengumpulan data-data penyelidikan Antropologi tentang sejarah Oladhawe yang diceritakan oleh bapak Saparaja dan kemudian ditulis oleh bapak Agustinus Geju Kepala SDK Dhawe.

Cerita ini kemudian dimuat dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Tingkat II Ngada oleh Bapak Alfons Woso Kabin Kebudayaan Kabupaten Ngada tanggal 25 Oktober 1967. Kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan oleh Bapak Gaspar A. Gero pada bulan Oktober 1949 tentang asal usui keluarga yang mendiami kampung ola Dhawe dari Ulu Oladhawe sampai Eko Dhoakata.

Selain itu tulisan tentang sejarah dhawe ditulis oleh bapak Herman Ngebu pada tanggal 1 September 1978 sebagai Kenang-kenangan mahasiswa KKN Unika Admajaya dan kenang-kenangan untuk bapak Niko Laja sebagai pemilik kebudayaan Kecamatan Aesesa.

 

Pada tanggal 1 Maret 1990 bapak Didakus Daeng, Kepala Kantor Depdikbud Kecamatan Aesesa menulis Cerita Rakyat Wegu Anaralo sebagai bahan muatan lokal bersama bapak Fransiskus Nuwa Tiwa, BA, sebagai pengumpul data. Sumber data diceritakan oleh bapak Petrus Bhela Mantan Kepala Desa Dhawe dan bapak Gabriel Mite dari Desa Dhawe.

Berdasarkan sumber-sumber yang dikumpulkan baik tulisan maupun lisan maka sejarah terbentuknya kampung oladhawe adalah sebagai berikut:

A. Keluarga Dhawe

Asal mula Keluarga Dhawe berasal dari dua bersaudara yaitu seorang laki-laki bernama Dhawe dan seorang perempuan bernama Dhengi.

Keduanya hidup bertani dan mempunyai seekor anjing yang diberi nama Ebo Rua. Mareka memiliki kebun yang ditanami jagung. Ketika jagung sudah mulai berisi datanglah seekor babi hutan hendak memakannya tetapi selalu diusir oleh anjing yang bernama Ebo Rua.

Kejadian ini terjadi setiap malam sehingga timbul rasa marah si laki-laki. Pada suatu malam laki-laki tersebut bersama anjingnya memburu babi sampai ke sarangnya. Anjing masuk ke dalam sarang sedangkan laki-laki itu menunggu di luar.

Tiba-tiba terdengar olehnya percakapan ajing dan babi. Percakapannya demikian: “janganlah engkau mengusir kami. Ketahuilah bahwa terhitung sejak hari ini sampai hari ketujuh bumi akan kiamat”.

Mendengar hal itu tercenganglah lelaki itu dan manyampaikan apa yang didengarnya kepada penduduk kampung. Tak seorangpun penduduk kampung yang percaya tentang berita itu.

Lelaki ini tidak kehilangan akal dan berencana membuat sebuah perahu. Ia mengundang warga kampung untuk bersamanya membuat sebuah perahu namun tak seorangpun yang membantunya.

Perahu tersebut terbuat dari pohon kapok yang dikerjakan dalam waktu lima hari. Setelah parahu sesesai dikerjakan ia menyuruh si wanita untuk menyiapkan bekal beras dan jewawut yang telah ditumbuk.

Pada hari yang keenam hujan mulai rintik-rintik yang disusul dengan hujan deras dan mulai timbul mata air dimana-mana dari dalam tanah.

Kedua bersaudara naik ke perahu dengan membawa perbekalan dan daun gebang yang sudah dalam bentuk tali. Tali gebang tersebut diikat pada tiang rumah. Ketika permukaan air sudah semakin tinggi ada beberapa orang yang hendak naik ke perahu tetapi tidak diizinkan oleh lelaki itu.

Permukaan air semakin tinggi melewati semua puncak gunung. Tali gebang tetap diulurkan terus-menerus dan tiba-tiba terlihatlah dari langit sebatang akar beringin.

Setelah tali gebang diikatkan pada akar beringin terdengarlah suara: “mengapa saya memanggil kamu tetapi tidak ada yang menjawab saya? Jawab lelaki itu: kami dalam keadaan tidur nyenyak.

Suara itu mengatakan yang terdengar oleh ku hanya suara katak dan ular. Sekarang arahkan perahu kalian ke timur. Tiba-tiba turunlah tanah sebanyak tujuh sokal kedalam perahu. Lelaki itu bertanya: untuk apa dengan tanah ini? Jawab suara itu: hamburkan tanah-tanah itu ke timur dan ke barat”.

Tanah tersebut dihamburkan ketimur dan ke barat sesuai yang diperintahkan dan seketika itu juga terjadilah daratan. Tali gebang yang diikat pada akar beringin berubah menjadi pohon balang sedangkan perahu mereka terdampar di suatu daratan. Tempat itu kemudian menjadi Oladhawe.

Kedua bersaudara menetap dan berdiam Oladhawe. Untuk memasak makanan mareka tidak mempunyai api. Terlihat oleh lelaki itu bunga api di kejauhan. Berangkatlah lelaki itu untuk mengambil api.

Setibanya disana ia melihat hanya ada beberapa rumpun bambu. Angin meniup-niup bambu itu dan terjadi gesekan diantara bambu-bambu sehingga terjadi bunga api. Lelaki itu mengambil bambu tersebut lalu menggesek-gesekannya sampai menghasilkan api. Ia kembali ke oladhawe sambil membawa api. Tempat itu sekarang bernama Ratu Api.

Kedua bersaudara itu dikaruniai anak dan semuanya kembar dua. Anak kembar pertama seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan. Laki-laki diberi nama Togo dan pempuan diberi nama Mogo.

Anak kembar kedua seorang laki-laki dan seorang perempuan. Laki-laki diberi nama Te dan pempuan diberi nama Jere. Anak kembar ketiga seorang laki-laki dan seorang perempuan. Laki-laki diberi nama Dhae dan pempuan diberi nama Tei. Anak kembar keempat seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Laki-laki diberi nama Bale dan pempuan diberi nama Beo. Jumlah anak dari kedua beraudara sebanyak 8 (delapan) orang.

Suatu ketika ada seekor burung pergam berkata kepada kedua bersaudara beserta anak-anaknya: “Sa Boa Ga’e Limazua, Zuabutu ta Polo, Beo ta Polo”. Artinya: dalam satu kampung ada tujuh orang baik dan yang kedelapan adalah orang jahat, Beo adalah orang yang jahat.

Perkataan burung pergam berikutnya adalah: “sa lie benu bhise sa ropo benu podo, rawi mona gore mo, toro mite mema, jeka pata mema. Guru sa buku tolo lobo sa buku zale pu’u. kobe sa riwa leza sa riwa, ru sa riwa nua leza sa riwa”.

Artinya: walaupun sedikit akan menjadi penuh, kapas berwana hitam atau merah tidak perlu dibuat akan ada selamanya. Ruas bambu ada di ujung dan juga ada di pangkal. siang, malam dan musim terjadi setiap tahun.

Kemudian datang lagi seekor burung yang dalam bahasa setempat bernama burung koka berkata kepada kedua bersaudara: “mata dhoa lau dia mai dhadhi wali, zele wolo ngusa mo zili mesi ngusa geli, ngusa mo ngusa gore-gore mo’o tei raka no’e. artinya: ada yang mati dan ada yang lahir, di darat maupun di laut tidak ada yang gampang, hanya dengan berusaha agar bisa mendapatkan sesuatu.

Setelah kedelapan anak menginjak dewasa lelaki itu berpesan kepada kedua anak sulungnya Togo dan Mogo untuk menetap di Oladhawe. Kedua bersaudara dan enam anak lainnya pergi membawa serta tanah yang tersisa untuk membentuk pulau lain.

Syarat untuk membentuk pulau harus pada malam hari. Berhubung dilaksanakan sudah menjelang siang maka yang terjadi hanyalah: Watu Doa, Ngalu Watu, Ki Ngeta, Lai Bhara dan Wolo Puta. Pulau yang didiami oleh kedua bersaudara dan keenam anaknya yaitu di Watu Doa. Pesanan orang tuanya kepada Togo dan Mogo yang berdiam di oladhawe yaitu: ”Miu ta ena oladhawe, miu ne ena kami ne dia. Liki miu tona mona mai pai dia”.

Artinya: kamu di oladhawe, Kamu di situ kami di sini dan bila kamu kekurangan datanglah meminta kepada kami di sini”.

Sampai saat ini bila terjadi kekurangan hujan maka orang Dhawe pergi mengambil batu di Watu Doa.

Upacaranya disebut “Kai Rago Ana Watu Doa” dengan syairnya:
Kami mai ka’o ana watu doa
Kami dia ne mona uza
Kami ka’o kau ebu Doa
Mo’o ti’i tuka pati foko ana ebu kami
Uzu ka ae kami mata peka
Caranya adalah air laut disimpan di dalam bambu bersama batu dari Watu Doa kemudian dibawa ke tempat yang bernama “Napu Wedhu”.

Upacara ini dilaksanakan pada musim hujan bila tidak terjadi hujan. Kebiasaannya setelah melaksanakan upacara ini akan terjadi hujan. Memasuki musim kemarau dibuat perahu kecil untuk menghanyutkan batu dan air laut melalui sungai Aesesa agar kembali ke laut.

Keturunan Dhawe memiliki rumah adat atau Sa’o Waja yang betempat di Ulu Ola terdiri dari:
1. Nama Rumah (sa’o Pu’u) : Kowadhawe
Fungsi : Ghili Ola/Waka Ola
2. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Dhengidhawe

Fungsi : Pembantu Waka ola
Sesuai dengan ungkapan (bhea sa) bahwa “Ulu Oladhawe Eko Dhoa Kata” yang menyatakan wilayah Oladhawe terdiri dari Ulu Ola sampai Dhoa Kata.

Perluasan wilayah atau “Tana Meze Watu Lewa” baru pada masa Wegu Anaralo dan istrinya Bu’e Djawa/Penu Ga’e. Wegu Anaralo adalah anak dari Kodha Goru.

B. Keluarga Kodha Goru

Kampung Oladhawe terdiri dari rangkaian anak kampung berturut-turut Uluola, Anawegu, Kali, Auradu, Woloboko, Dhoa Kata.

Di kampung Anawegu yang merupakan rangkaian kampung oladhawe berdiamlah seorang bernama Kodha Goru (Goru seorang nahkoda).

Kodha Goru hidup bahagia di samping istrinya bernama Tawa. Rumah kediaman Kodha Goru dan Tawa namanya Sa’o Rajo Goa (Rumah Perahu orang Goa). Nama ini membuktikan Kodha Goru adalah seorang Nahkoda yang berasal dari Goa, Makasar. Kodha Goru dan Tawa bahagia sebagai petani seperti kebanyakan penduduk Oladhawe lainnya.

Mareka mempunyai banyak anak. Kodha Goru diserahi tugas berat sebagai panglima keamanan Oladhawe. Tugas utamanya menjaga keamanan pantai utara yang sering diserang oleh bajak laut dari laut Flores.

Di tangan Kodha Goru Oladhawe dan sekitarnya merasa aman dari serangan musuh.

Kebahagian Kodha Goru dan Tawa tidak bertahan lama. Satu persatu anak-anak buah cinta mareka meninggal dunia. Maklumlah di zaman dahulu wabah penyakit merajalela tanpa terkendali. Satu-satunya anak Kodha Goru dan Tawa yang bertahan hidup adalah Wegu. Kematian anak-anak ini merupakan pukulan berat yang tidak tertahankan karena itulah berselang tak berapa lama Kodha Goru dan Tawa meninggalkan Wegu untuk selama-lamanya.

Sa’o Rajo Goa yang dulunya terkenal berpenghuni banyak kini sepi ditinggalkan oleh penghuninya satu-persatu. Tinggalah Wegu seorang diri sebagai anak yatim piatu. dalam bahasa setempat disebut Wegu Anaralo.

Selain yatim piatu Wegu tak memiliki warisan apapun kecuali sebuah rumah, sebidang Kebun bersama sebuah pondok reot dan sebuah lumbung kosong. Wegu agaknya bernasib malang. Selain itu semua tampang Wegu pun tidak menarik.

Karena itulah Wegu menjadi ocehan serta cemoohan kawan-kawannya. Gadis sekampung menganggap Wegu sebagai seorang yang berkelainan sehingga mareka tidak senang berteman dengan Wegu. Wegu Semakin merasa rendah dan kikuk.

Wegu akhirnya memutuskan untuk tinggal menyendiri saja di kebun. Meski demikian Wegu tidak menunjukkan sikap bermusuhan. Wegu tetap memegang nasihat ayahnya agar tetap hidup rukun dengan tetangga.

Karena itu ia tetap berusaha menjadi seorang petani yang baik. Dalam hal tersebut jelas Wegu tak dapat bersaing dengan penduduk Oladhawe lainnya yang kebanyakan hartawan. Dalam bahasa setempat disebut kaum Mosalaki.

Dalam kehidupan sehari-hari Wegu sering diremehkan oleh kaum Mosalaki. Wegu sama Sekali tidak mendapat tempat baik di dalam pergaulan, maupun di dalam mata pencaharian. Wegu terpaksa menjadi peminta-minta, hidupnya terlunta-lunta, dari seorang ke orang yang lain, dari sepondok ke pondok yang lain.

Tetapi nasib Wegu memang sial tak seorangpun di antara kaum mosalaki yang berbelas kasih padanya. Dari hari ke hari yang diperolehnya adalah sisa makanan yaitu kerak nasi dan tulang daging.

Meski demikian Wegu menyimpan semua rahasia pemberian mosalaki ini. Disediakan tabung bambu lalu diisinya semua sisa makanan pemberian kaum mosalaki ke dalam tabung.

Tabung itu disimpan di rumah ayahnya untuk dijadikan kenang-kenangan pikir Wegu.

Musim hujan tiba sungai Aesesa sering terjadi banjir. Penduduk bersukaria selain mereka dapat menyiapkan lahan untuk bercocok tanam tetapi pada awal musim hujan biasanya penduduk beramai-ramai ke sungai memasang Sosa yaitu alat penangkap ikan, udang, belut yang terbuat dari bambu.

Kaum mosalaki biasanya memilih tempat strategis. Wegu tidak berdiam diri, ia mencoba memasang sosa-nya. Tetapi apa yang terjadi ketika kaum mosalaki melihat sosa Wegu mareka membuangnya ke darat. Wegu tidak putus asah.

Di dalam hatinya selalu berdengung nasihat ayahnya “orang sabar dikasihani Tuhan”. Wegu akhirnya memutuskan untuk memasang sosa di darat di tepi sungai. Pikirnya apabila banjir besar datang pasti air meluap hingga ke darat.

Keesokan harinya ketika fajar menyingsing Wegu telah tiba di tepi sungai. Dari jauh terlihat olehnya sesuatu benda di dalam sosanya. Apa yang terjadi ketika ia tiba di tempat itu? Ia tak percaya pada pengelihatannya. Di dalam sosa terdapat seekor ikan besar. Syukur Tuhan menolong saya pikir Wegu.

Bukan main senang hati Wegu sambil membawa ikan ke pondoknya. Hal ini dilakukannya secara sembunyi-sembunyi karena kuatir akan dilihat kaum mosalaki.

Wegu bergegas kembali ke pondok. Di pondoknya ada sebuah lumbung bekas peninggalan ayahnya Kodhagoru. Segera dikeluarkan ikan itu dari dalam sosa. Ikan itu disembunyikannya di para-para, pikir Wegu biar aman sebab kaum mosalaki pasti akan merampoknya bila mareka tahu.

Setelah menyimpan ikan yang didapatnya wegu segera ke hutan menyadap tuak dan mencari bumbu dari daun asam. Biar saya makan enak hari ini, “Pikir Wegu di dalam hatinya”.

Memang sejak ditinggal ayah ibunya Wegu tidak pernah menikmati kenikmatan makanan. Tak beberapa lama Wegu tiba kembali di pondoknya.

Di tangannya digenggam seberkas pucuk daun asam sebagai bumbu. Di bahu dililitnya setabung tuak. Alangkah terkejutnya ketika didapati periuk nasi terjerang di tungku. Pikir Wegu pasti ada orang yang memsaknnya. Dengan cemas Wegu melangkah ke pondok hendak mencarikan ikan yang tadi disembunyikannya. Wegu hampir saja pingsan ketika melihat ikannya tidak ada lagi. Siapa gerangan yang mengambilnya? “Pikir Wegu”. Wegu coba menenangkan hatinya ia melangkah kian kemari mencari apakah ada anjing yang mungkin telah memakannya.

Namun usaha mencari ikan sia-sia belaka maka duduklah wegu meratapi nasibnya. Satu-satunya harta saya adalah ikan. Meskipun ikan itu saya sembunyikan.

“Hai Wegu”! Apa yang kau risaukan? Suara seorang wanita dari lumbung. Wegu terhentak seketika sambil bertanya, siapakah engkau itu? Jawab suara itu pula …” jangan takut Wegu” saya adalah Bu’e Djawa penjelmaan ikan yang kau cari itu.

Kini Wegu dan Bu’e Djawa sama-sama menghuni pondok reot itu. Dalam benak Wegu kehadiran Bu’e Djawa itu menambah beban baginya. Bu’e Djawa berparas cantik tidak sepadan dengan Wegu. Karena itu Bu’e Djawa berkata,”jangan engkau takut menerima saya menjadi istrimu, saya akan berusaha menolongmu selalu”.

Wegu nampaknya belum yakin karena itu Bu’e Djawa menjelaskan asal-usulnya dari mana ia datang.

Wegu agaknya kikuk. Belum pernah melihat gadis secantik Bu’e Djawa di kampungnya. Wegu semakin penasaran ingin mengetahui asal-usul Bu’e Djawa. Karena itu Wegu berkata, “bila kau tidak sudi menceritakan asal-usulmu, saya tak berani menerimamu sebagai istriku.

Biarlah saya meninggalkan pondok ini. Mendengar ucapan Wegu, Bu’e Djawa segera menceritakan asal-usulnya. Kata Bu’e Djawa “Nama saya sebenarnya adalah Penu Ga’e. saya berasal dari Soa yang merupakan daerah hulu sungai ini. Saya berasal dari keluarga terpandang dan bahagia namun di dalam pergaulan hidup sehari-hari terjadi perselisihan paham maka saya membuang diri ke sungai. Saya menjadi seekor ikan dan tiba di sini melalui sungai. Selanjutnya panggilah saya Bu’e Djawa”. Penu mengakhiri ceritanya.

Demikianlah Bu’e Djawa menjelaskan bahwa di Soa daerah yang subur, penduduknya hidup bahagia. Karena terjadi perselisihan paham dengan sudara-saudaranya maka Bu’e Djawa ingin membuang dirinya ke sungai. Penu berdoa agar ia dapat menjelma menjadi ikan. Ia ingin mencari tempat yang bahagia di hilir sungai ini. Maka diucapkannya doa pada sebutir telur ayam. Doanya demikian: “Demi kau telur ayam ciptaan Yang Maha Kuasa saya berdoa, sesungguhnya saya akan melepaskan diri dari segala cercaan dan hinaan masyarakat. saya ingin hidup di tempat yang aman dan bahagia. Karena itu saya ingin mencelupkan diri ke dalam sungai ini. Berilah saya petunjuk melalui telur ini bila saya akan mencapai kebahagiaan, maka telur yang dilempar ke dalam sungai tidak terapung melainkan tenggelam dan menjadi ikan satu…. dua….. tiga….. empat….. lima bhisa……”

Telur itu dilemparkan ke sungai. Setelah disaksikannya telur itu tenggelam lompatlah ia ketika itu bersama pakaian serta perhiasan emas dan perak ke dalam sungai itu. Di dalam sungai Penu menjelma menjadi ikan. Itu sebabnya sungai di dekat Soa tempat penu membuang diri dinamakan Kolo Penu yang berarti tempat Penu mencelupkan diri.

Setelah Wegu mendengar dan mengetahui seluk beluk asal-usul Bu’e Djawa beranilah Wegu menerima Bu’e Djawa sebagai istrinya. Namun Wegu dan Bu’e Djawa selalu merahasiakan peristiwa ini kepada orang-orang disekitarnya. Keduanya berunding untuk membuka kebun baru yang aman. Dipilihnya tempat yang agak jauh ke utara di dekat pantai laut Flores. Tempat itu namanya Nabe.

Dalam kehidupan mareka sehari-hari dengan mudah Bu’e Djawa mendatangkan sesuatu kebutuhan. Tatkala lahan kebun mareka siap ditanami, Bu’e Djawa memberikan bibit yaitu 5 butir biji labu untuk ditanam. Bu’e Djawa menghendaki Wegu menanam labu itu masing-masing satu biji di empat sudut kebun. Sedang biji kelima ditanam di tengah-tengah kebun itu. Setelah tiga bulan berlalu labu itu menjalar di semua pelosok kebun. Buahnya ada yang tua dan banyak juga yang muda. Senang hati Wegu melihatnya. Belum pernah ia mengalami hasil sebanyak itu. Tentu saja rejeki ini datang melalui Bu’e Djawa istrinya, pikir Wegu. Tetapi alangkah terkejutnya ketika Wegu melihat banyak buah labu itu dimakan binatang. “Binatang apa gerangan? Di sini tidak ada seekorpun binatang liar” pikir Wegu dalam hatinya. Segera hal itu disampaikan kepada istrinya. Bu’e Djawa mendengar dengan saksama semua pemberitahuan suaminya. Bu’e Djawa menyarankan Wegu menyiapakan bambu runcing untuk menikami apa saja yang merusaki tanaman mareka. Wegu menuruti anjuran istrinya. Pada suatu malam Wegu mengintip ke kebun, perlahan-lahan didekatinya sesosok binatang yang sedang mendekat. Meski demikian Wegu tidak dapat memastikan rupa binatang itu karena keadaan malam itu gelap gulita. Dengan hati berdegup Wegu mengayunkan bambu runcing ke arah binatang itu. Sambil mengerang kesakitan binatang itu coba meloloskan diri ke hutan. Wegu kembali ke pondok. Peristiwa itu disampaikan pula pada istrinya. Di mata Wegu Bu’e Djawa adalah segala-galanya. Bu’e Djawa merupakan sumber inspirasi hidup baginya. Maka segala perkataan Bu’e Djawa tak mungkin ditolaknya. Karena Wegu menganggap dapat mendatangkan rejeki.

Ketika fajar menyingsing Bu’e Djawa berseru “hai Wegu, coba engkau susul binatang semalam mungkin sudah mati. Segera Wegu melaksanakannya. Tak berapa jauh dari kebun Wegu mendapati sebuah kolam besar. Dilihatnya sesosok binatang yang agak ganjil mati terkapar di kolam itu.

Setelah diamati dengan teliti dilihatnya bahwa binatang semalam yang ditikamnya adalah ular Naga yang besar. Hal itu segera disampaikannya kepada Bu’e Djawa. Kemudian Bu’e Djawa menganjurkan agar kolam itu dipagari seluruhnya agar tidak ada anjing atau biawak menghabisi bangkai ular itu. Wegu melaksanakan kehendak istrinya. Dari hari ke hari Wegu membuat pagar kolam sambil mengamati peristiwa yang terjadi atas bangkai naga itu.

Setelah bangkai membusuk Wegu melihat bangkai itu hancur dan ulat memenuhi kolam itu. Hari-hari selanjutnya ulat-ulat itu terus berubah dan berubah. Mula-mula sebesar lidi, lalu sebesar jari tangan, sebesar jari kaki dan akhirnya sebesar betis.

Pada saat itu wegu melihat ada sesuatu perubahan yang aneh tumbuh pada ulat itu. Dilihatnya mata, telinga, tanduk, ekor dan pada hari yang ke tujuh semua ulat itu berubah menjadi kerbau. Semua peristiwa itu diceritakan kepada Bu’e Djawa. Bu’e Djawa menganjurkan untuk mencari tenaga bantu guna menjaga kerbau. Wegu berhasil menemukan seorang pembantu namanya Nge.

Meskipun sudah setahun mareka hidup bersama tetapi tidak ada tanda bahwa mareka akan memperoleh anak. Hal itu tidak dihiraukankan Wegu. Penghuni pondok itu menjadi tiga orang bersama Nge. Mareka hidup bahagia karena memiliki ratusan ekor kerbau. Jumlah ini melebihi segala kerbau yang ada di Oladhawe.

Di Ola Dhawe tak seorang pun tahu kejadian ini. Pada suatu malam Bu’e Djawa menganjurkan suaminya pergilah ke kampung Oladhawe memperbaiki rumah Rajo Goa. Beritakan kepada seluruh penghuni kampung Oladhawe bahwa kita akan masuk ke Oladhawe beserta seluruh kekayaan yang kita miliki. Karena itu sampaikan kepada mareka untuk memperbaiki seluruh tiang rumah agar lebih tinggi dan lebih kuat”. Wegu sekarang tidak lagi kikuk seperti Wegu yang dulu. Ia segera berangkat ke Oladhawe dan melaksanakannya semua yang dikatakan oleh Bu’e Djawa. Mula-mula diperbaiki rumah mareka Sa’o Rajo Goa lalu dibuatnya kandang kerbau di belakang kampung. Kandang itu terbuat dari batu dan tanah. Letaknya agak bertingkat. Nama kandang itu Kopo Tana.

Ketika Wegu memberitakan peristiwa itu kepada para mosalaki, lagi-lagi Wegu menjadi penasaran karena semua tidak percaya. Kata mareka “inikah Wegu yang menjadi kaya mendadak? Hidupmu meminta-minta mengharapkan kemurahan orang. Mungkin tulang dan kerak nasi masih ada tetapi berlagak mau menjadi kaya. Kami tidak akan percaya padamu.

Tetapi dari semua penghuni kampung Oladhawe hanya seorang nenek yang mendengarkan Wegu. Dia meminta bantuan Wegu untuk memperbaiki tiang rumahnya. Meski demikian Wegu tetap berhati lembut. Sebelum kembali ke Nabe, ia sekali lagi menasihati mareka agar memperbaiki tiang rumah mareka karena tujuh hari lagi Wegu dan istrinya bersama rombongan akan datang. Setelah berkata demikian kembalilah Wegu ke Nabe menemui Bu’e Djawa. Disana telah menanti Bu’e Djawa, Nge dan kawanan kerbaunya. Hari yang dinantikan telah tiba. Di Oladhawe para mosalaki ingin melihat yang sesungguhnya akan terjadi. Maka berdirilah mareka di halaman Oladhawe sambil melihat ke pantai. Dan apa yang mareka lihat? Dari kejauhan tampaklah debu mengepul ke udara. Itulah debu akibat rombongan Wegu bersama Kerbau. Mula-mula robongan tiba di kajulaki lalu menyusuri ke hulu sebelah barat sungai Aesesa, tiba di tempat yang bernama pogo bhenga. Lalu tibalah rombongan itu di tanaree. Dari tanaree Wegu beserta kawanan masuk ke Watuapi lalu menyeberang sungai Aesesa masuk ke Natarale terus ke Dekojaji lalu naik Dhoa Kata. Pada zaman Wegu Natarale berada di sebelah timur sungai Aesesa.

Kini para mosalaki percaya. Selain itu tidak habis-habisnya mareka berpikir. Dari mana Wegu memperoleh kekayaan sebanyak itu dalam sekejap? Kini rombongan Wegu semakin mendekati kampung. Wegu yang dahulu berpakaian compang-camping. Kini memasuki kampung menuju rumahnya Rajo Go’a. dengan pakaian kemegahannya. Wegu menunggang kuda jantan sambil memboncengkan Bu’e Djawa istrinya tercinta. Berikut rombongan kerbau ratusan jumlahnya. Kerbau ajaib penjelmaan ulat dari naga yang ditikamnya. Paling depan rombongan kerbau adalah kerbau betina namanya “ine puu susu lewa”. Banyak pula yang jantan. Berada paling belakang adalah Nge pembantu dan penjaga kerbau yang paling setia. Apa yang terjadi ketika masuk kampung? Semua rumah roboh yang tinggal adalah rumah si nenek yang pernah meminta bantuan Wegu memperbaikinya. Maka bersujudlah semua penghuni oladhawe. Mareka tak berani memandang wajah Wegu Anaralo karena kilauan perhiasan Wegu Anaralo dan Bu’e Djawa istrinya. Kekang kuda terbuat dari emas dan talinya dari perak. Wegu dan istrinya langsung menuju sa’o Rajo Goa dan menyimpan semua kekayaannya. Wegu mengambil tabungan yang dulu diisinya dengan kerak nasi dan tulang daging pemberian kaum mosalaki. Dituangkannya ke bale-bale ternyata yang ada adalah emas dan perak. Diisinya emas perak ke dalam tabung dan disimpannya pula.

Setelah beristirahat sejenak, Wegu Anaralo bersama Nge menghantar kerbau ke kandang yang bernama Kopo Tana terletak di belakang kampung. Setelah genap lima malam Wegu dan Bu’e Djawa mengadakan syukuran yang disebut “Kose Gole Kopo Tana”. Maksudnya dengan syukuran itu agar namanya dipulihkan bahkan dikukuhkan secara adat menjadi KETUA ADAT. Berhubung para mosalaki oladhawe telah lari meninggalkan kampung maka diperintahkan beberapa utusan untuk memanggil para mosalaki kembali ke kampung oladhawe. Kini para mosalaki tidak dapat berbuat lain kecuali memenuhi undangan Wegu Anaralo. Para mosalaki oladhawe yang sebelumnya meremehkan Wegu Anaralo dan sekarang tersipu-sipu duduk beralaskan tikar di halaman rumah Rajo Goa. Mareka semua tertegun dan sadar kalau dulu mareka terlalu takabur dan akhirnya Wegu Anaralo yang sekarang muncul sebagai Kepala atas mareka semua.

Acara syukuran Kose Gole Kopo Tana dilaksanakan dengan menyembelih dua ekor kerbau jantan tambun. Wegu ingin mengamalkan rejekinya kepada penghuni kampung Oladhawe. Upacara dilaksanakan di dua tempat yaitu di kandang Kopo tana dan di kampong Anawegu. Puncak upacara adalah makan bersama. Setelah semua penghuni kampung serta undangan selesai makan sampailah kini pada bagian akhir dari upacara yaitu Sepu ka owo inu. Wegu bersama istrinya Bu’e Djawa duduk bersanding dengan pakaian kemegahan serta perhiasan emas dan perak. Wegu angkat bicara: “para mosalaki yang saya cintai, saya bersyukur kalau saya bisa merayakan upacara ini. Saya sendiri tidak mengerti bahwa saya yang dijuluki Wegu Anaralo akan memperoleh semua yang kamu saksikan tetapi itu semua pemberian Yang Maha Kuasa. Beturut-turut Wegu menjelaskan keadaan dahulu sewaktu ia hidup meminta-minta. Dijelaskannya asal-usul Bu’e Djawa dan asal-usulnya kerbau. Para mosalaki dan undangan tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Mareka tertunduk tegun. Akhirnya Wegu berkata: “saya berterima kasih karena kamu sudah pernah menolong menghidupkan saya dengan kerak nasi dan tulang daging. Ini semua masih saya simpan sebagai kenangan. Biarlah saya tuangkan di depan kamu”. Diambilnya tabungan lalu dituangkannya ke atas tikar terdengarlah bunyi gemerincing. Karena yang tertuang bukan kerak dan tulang melainkan emas dan perak. Dengan upacara ini dimana semua penghuni Oladhawe dapat menyaksikan kebesaran Wegu Anaralo dan Bu’e Djawa maka Wegu kini sebagai orang terkaya di Oladhawe.

Wegu dan Bu’e Djawa masih mengajak para mosalaki oladhawe untuk memperbaiki rumah-rumah yang rusak. Pada keesokan harinya rumah-rumah mulai diperbaiki dengan cara bergotong royong. Setelah semua rumah selesai diperbaiki Wegu mengundang kembali para penghuni kampung oladhawe untuk merencanakan upacara Para Sese. Upacara ini dilaksanakan dengan cara menggantungkan tali kerbau pada kayu pemali yang disebut Peo. Jenis kayu diambil dari kayu yang dalam bahasa setempat disebut kayu Rebu (Cassia Fistula). Pencarian kayu ini dilakukan selama beberapa hari namun tidak ditemukan. Akhirnya pada suatu hari kayu pemali itu ditemukan oleh seekor anjing yang diketahui melalui gonggongannya di tepi sungai Aesesa dan sudah dalam bentuk Peo beserta ukirannya. Tempat terdamparnya Peo tersebut bernama Paulowa. Peo ini berasal dari Soa yang dihanyutkan lewat sungai Aesesa. Sebelum membawa Peo ke kampung oladhawe Wegu mengatakan bahwa mosalaki oladhawe sebagai pendukung bagian pangkalnya (Saka Puu) sedangkan Wegu pendukung bagian ujung (Saka Lobo). Peo tersebut ditanam di tengah kampung beserta akar-akarnya. Peo tersebut adalah Peo Fai.

Setelah Peo selesai ditanam, penghuni oladhawe mulai menyiapkan upacara Para Sese yang diawali dengan acara Pa’i Tali. Acara tersebut dilakukan selama lima malam berturut-turut yang dihadiri oleh masyarakat oladhawe dan penduduk di sekitarnya. Bue Djawa menunda acara ini karena ia belum melihat saudara-saudaranya dari Soa yang mengikuti acara ini. Berhubung penundaan ini sudah memasuki hari keenam maka Wegu dan Bue Djawa berencana agar acara ini tetap dilaksanakan. Pada keesokan harinya yaitu hari ketuju upacara para sese siap untuk dilaksanakan. Sebelum upacara dimulai terdengarlah kabar bahwa ada orang Soa yang menghadiri upacara para sese. Mendengar kabar bahwa ada orang Soa yang datang menghadiri acara para sese Bue Djawa turun menari di tempat upacara. Ketika bue djawa sedang menari tiba-tiba datang seekor anjing menjilat-jilat dan mengipaskan ekornya pada Bue djawa. Anjing itu dikenal oleh Bue Djawa bahwa anjing itu adalah milik saudaranya yang datang dari Soa. Bue Djawa memohon diri untuk istrahat menari dan kembali masuk ke rumahnya sedangkan tarian dituruskan. Kepergiaan Bue Djawa diikuti terus oleh anjing itu dan disusul oleh orang-orang dari soa menuju rumahnya. Mereka semua duduk di halaman rumah Bue Djawa. Salah satu dari mareka meminta air pada tuan rumah. Bue Djawa mengetahui bahwa niat saudara-saudaranya bukan untuk meminta air kepada tuan rumah tetapi mareka hanya meminta untuk dikenal. Oleh karena itu dihiasinya seorang gadis untuk melayani saudara-saudaranya. Namun saudara-saudaranya tidak mau minum. Bue Djawa menghiasi gadis berikutnya sampai tujuh orang untuk melayani saudara-saudaranya tetapi mareka tetap tidak mau minum. Kemudian berkatalah Bue Djawa dari dalam rumah,”apa sebenarnya yang kamu inginkan”? Jawab mareka: “Kami hanya meminta tuan rumah sendiri yang melayani kami air. Kata Bue Djawa: “Kalau saya sendiri harus turun melayani kamu, inilah dia”. Diberikanya tujuh buah nyiru kepada saudara-saudaranya. Melihat pemberian itu saudara-saudaranya membagikan kepada mareka masing-masing satu buah. Kedalam nyiru-nyiru itu diisinya dengan emas sampai penuh. Bue Djawa menyuruh pembantunya untuk melihat apa yang dilakukan oleh saudara-saudaranya. Pembantunya kembali menyampaikan bahwa saudara-saudaranya membawa banyak emas. Maka keluarlah Bue Djawa untuk menemui saudara-saudaranya sambil menangis dan ia menuyuruh pembantunya untuk memberikan tujuh buah kelapa muda, tujuh bambu moke dan tujuh bambu yang berisi air. Sambil menangis Bue Djawa berkata: Miu Teo Ngao Nee Riru Wigu, Bholo Ke Dhoko Ngao Laza Logo. Miu Bae Ngao Nee Rasa Kasa, Bholo Suu Ngao Ne Laza Ulu”. Artinya: (Telinga saya digantungkan dengan banyak mas sampai menyentuh bahu untuk memikulnya punggung saya sakit. Kamu gantungkan saya dengan perhiasan untuk menjunjungnya saya sakit kepala). Saudaranya mengerti bahwa Bue Djawa meminta hamba baginya. Kemudian saudara-saudaranya menyuruh orang-orang tawanan yang dalam bahasa setempat disebut ana bhui untuk merentangkan kaki supaya Bue Djawa bisa berjalan diatas kaki mareka dan turun ke halaman bersama saudara-saudaranya. Melihat hal itu tercenganglah Wegu Anaralo dan bertanya kepada istrinya tentang emas yang diberikan oleh saudara-saudaranya. Bue Djawa mengatakan bahwa semua itu adalah barang pusaka dari Soa. Mendengar hal itu Wegu Anaralo menyuruh orang Dhawe membuat befak masing-masing satu buah untuk ketujuh saudaranya Bue Djawa.

Setelah selesainya acara Para Sese Bue Djawa dan Wegu Anaralo diminta oleh saudaranya supaya makan siri pinang bersama untuk pamit pulang ke Soa. Tetapi permintaan itu ditolak oleh Wegu Anaralo dan menunda keberangkatan mareka. Sesudah hari kedua dari penundaan ini saudaranya meminta diri lagi untuk pulang tetapi Bue Djawa masih meminta saudaranya untuk berbicara mengenai dirinya dan Wegu Anaralo. Wegu memulai pembicaraan dengan berkata: “Kami mempunyai harta yang banyak tetapi kami berdua tidak mempunyai anak, kami meminta salah seorang dari kamu tinggal bersama kami di sini. Jawab Saudaranya: ”Kami di Soa tidak kurang satu apapun”. Akhirnya oleh permintaan yang terus menerus dari Bue Djawa dan Wegu Anaralo lalu saudaranya mengambil persetujuan agar adik bungsu yang bernama Eko Ga’e tinggal di Oladhawe bersama saudarinya untuk menguasai segala harta benda dan oleh Wegu Anaralo dalam perundingan dengan Mosalaki Oladhawe Eko Ga’e diberikan kuasa yang dalam Bahasa Daerah Setempat disebut: “TUGU-TUGU LABA DJAWA KU ULU ENGA EKO” (Sebagai pemegang kekuasaan Tanah Dhawe dan adat istiadatnya yang berlaku sampai saat ini). Eko Ga’e ditempatkan di tempat yang bernama Au Radu dan didirikan sebuah rumah yang diberi nama Tongananga. Sedangkan saudara-saudara yang lain kembali ke Soa dengan membawa serta puluhan Kerbau yang masing-masing dimuat dengan Garam. Bue Djawa berpesan agar setibanya di Soa garam-garam tersebut disimpan di sebuah lumbung kemudian bakarlah lumbung itu supaya garam-garam itu menjadi batu sehingga kamu tidak bersusa payah menjinakan kerbau tetapi tarulah garam diatas batu tersebut maka karbau tidak akan pergi jauh.

Pada masa wegu anaralo dan bu’e djawa terjadi perang dengan orang lape sehingga menambah perluasan tanah dhawe ke timur. Semboyan orang lape yang mengatakan bahwa “AESESA ZALE-ZALE TANA LAPE ZALE-ZALE” dibatasi dengan perjanjian “IKA WISA RO’A RA’E”. Bila terjadi perselisihan batas tanah antara orang lape dan orang dhawe akan diadakan sumpah adat yang disertai dengan makan daging ikan dan daging kera.

Keturunan Kodha Goru sampai dengan Wegu Anaralo dan Bu’e Jawa memiliki rumah adat atau Sa’o Waja yang betempat di Ana Wegu terdiri dari:
1. Nama Rumah (sa’o Pu’u) : Rajo Goa
Fungsi : Panglima Keamanan Laut
Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Djo Mara
Fungsi : Pasukan Keamanan Laut
2. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Talo Keli
Fungsi : Pasukan Keamanan Laut
3. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Dhoa Goa
Fungsi : Pasukan Keamanan Laut

C. KELUARGA EKO GA’E

Salah seorang saudara Penu Ga’e atau Bu’e Djawa dari Soa yang tinggal di Oladhawe adalah Eko Ga’e. Eko berarti anak terakhir atau anak bungsu. Dia adalah anak bungsu dari 8 bersaudara. Eko Ga’e tinggal di Oladhawe atas permintaan dari Bu’e Djawa dan Wegu Anaralo. Dalam perundingan dengan Mosalaki Oladhawe, Eko Ga’e dinobatkan sebagai pemegang kekuasaan Tanah Dhawe dan adat istiadatnya yang dalam bahasa daerah setempat disebut: “TUGU-TUGU LABA DJAWA KU ULU ENGA EKO” yang berlaku sampai saat ini. Eko Ga’e Kemudian diantar ke tempat yang bernama Au Radu dan didirikan sebuah rumah yang diberi nama Tongananga.

Arti dari ungkapan “TUGU-TUGU LABA DJAWA KU ULU ENGA EKO” adalah sebagai berikut:
Tugu-tugu : Bendera
Labajawa : Gendang
Ku Ulu Enga Eko : Pemimpin/Penguasa
Tugu-tugu atau Bendera terbuat dari kain yang berwarna kuning emas dan labajawa atau gendang terbuat dari kulit manusia yang diberi nama Laba Ga’e. Ku Ulu Enga Eko atau pemimpin/penguasa dalam arti memberikan perintah secara langsung atau tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yang tersedia. Secara langsung yaitu mengatur segala tata tertib, kalender kerja dan seremoni adat Dhawe baik Gua Ru maupun Gua Leza dan secara tidak langsung yaitu segala komando diberikan dengan symbol/tanda membunyikan gong-gendang (Labajawa). Selain hak “Tugu-Tugu Laba Djawa Ku Ulu Enga Eko” juga diberikan kepada Eko Ga’e hak atas Peo Raki yaitu kayu bercabang dua yang terbuat dari kayu Rebu (Cassia Fistula). Peo adalah simbol utama persatuan masyarakat adat Oladhawe. Ungkapan atau semboyan adat untuk persatuan dan kesatuan adat dhawe adalah “Peo Oko Nabe Fara”. Di kampung Oladhawe ada dua jenis Peo yaitu Peo Raki dan Peo Fai. Peo Raki dapat ditafsir sebagai bapa yang besar, tinggi, dan berwibawa sementara Peo Fai dapat ditafsir sebagai ibu yang penuh kasih sayang, pelindung dan pemelihara.

Eko Ga’e dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Redo. Pada masa Redo terjadi perang melawan Rowe Tose dari lape. Peperangan tersebut dimenangkan oleh Redo bersama mosalaki Oladhawe. Rowetose dibunuh dan kepalanya kemudian dibawah ke Oladhawe dan buah zakar dijadikan “goro-goro” sedangkan buluh kemaluannya dikat pada tombak dalam upacara tarian Masi Ae. Oleh karena jasanya, Redo dikuburkan di depan halaman Rumah Tongananga yang sampai saat ini kuburnya menjadi Nabe sebagai altar untuk pelaksanaan upacara Baro dan Rido.

Baro adalah kegiatan mengambil upeti di wilayah ulayat tanah dhawe. Pengambilan baro dilakukan oleh pasukan beregu yang disebut Roga Bore. Baro Hari Pertama untuk wilayah dataran Mbay (dua Bay). Di hari pertama ini semua Roga bore harus mengelilingi Nabe dan seorang pemegang parang adat (tepu topo) naik di Nabe kemudian menaikan doa secara adat. Hari kedua untuk wilayah Rendu dan Munde dan hari ke tiga untuk wilayah yang terlewatkan yang belum diambil baro.

Sehari setelah Baro, dilanjutkan dengan upacara Rido yaitu penyebelian anjing di waka ola dan Nyanyian dero atau aidhegha sampai pagi mengelilingi Nabe. Pada upacara Rido, semua kesalahan yang terjadi selama pelaksanaan Baro dipulihkan di atas Nabe. Awal mulanya Baro Dhawe adalah pada masa Redo.

Untuk mempertahankan tanah Dhawe terhadap serangan suku-suku dari luar maka dibentuklah pertahanan darat di setiap perbatasan dengan tugas sebagai “Taki Tana Ria watu, Pei Tuba Teo Kume”. Keluarga Eko Ga’e menempatkan salah seorang wanita dari keluarganya yang bernama Boa bersuami dengan orang Malawawo untuk menjaga perbatasan tanah bagian selatan dan diberikan kepadanya sebuah Peo dan upacara adat Buku Gua yaitu Fera dan Masi ae. Mareka tinggal di Malawawo sampai sekarang ini. Sedangkan Bagian barat diberikan kepada seorang saudari yang bersuamikan dengan orang Towak yang bertempat tinggal di Kota Dhima. Keluarga dari Towak ditugaskan menyiapkan segala sesuatu untuk kegiatan upacara Rago Ana Watu Doa ketika terjadi kemarau panjang yang berlokasi di Watu Doa. Oleh karena tugasnya itu orang towak tidak diambil Baro.

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda salah seorang keturunan Eko Ga’e bernama Rae Sape berperang bersama Nipa Do pada perang watuapi melawan Belanda. Semboyan keduanya adalah “Djo Papa Roko Ne Ame Nipado, Rajo Papa Risi Ne Ame Rae Sigi”. Setelah perang watuapi, Rae Sape meneruskan perlawanan di beberapa tempat dan akhirnya ditangkap oleh pasukan Belanda bersama ajudannya kemudian diasingkan ke Kupang. Namun dalam perjalanan di sekitar laut sawu ia ditembak dan dibuang ke laut. Seorang ajudannya yang bernama Lepa Tiu meneruskan perjalanan ke kupang dan dipenjarakan di Kupang. Lepa Tiu akhirnya menikah dengan gadis Timor dan menetap di Soe. Selain itu adiknya yang bernama Danga Sape juga ditangkap dan dibuang ke Sumba dan meninggal di Sumba.

Pada tahun 1935 dilaksanakan Pemeriksaan Perbatasan Tanah (Lasa Tanah) oleh masyarakat adat Dhawe. Dalam Upacara Lasa Tana Peralatan yang harus dibawa adalah bendera (tugu-tugu). Pemegang Bendera adalah dari Sao Tongananga yang dibawakan oleh Wu Sape (keturunan Eko Ga’e). Akibat terjadinya perselisihan dengan orang Rendu, maka pada tahun 1936 persoalan itu dapat diselesaikan oleh Raja Nagekeo Yosep Juwa Dobe Ngole bertempat di Rata Hamente Dhawe dengan kepala Hamente saat itu Bebi Photo (keturunan Eko Ga’e). Perdamaian (darasasa) antara Dhawe dan Rendu menghasikan kesepakatan bahwa Dhawe dan Rendu menjadi “tua kae eja azi, bo oko leu fara, bani papa kapi tego papa leu”. Pelaksanaan Baro Dhawe baik Ulu teko eko baro maupun joro tana ngezi watu tetap dilaksanakan sampai ke Rendu. Atas jasanya Wu Sape kemudian dikuburkan di Nabe bersama Ebu Redo.

Pada Tahun 2004 bapak Silvester Dhima Rasa dari sao Kelikisa yang bertugas sebagai Nau Gua dan Tepu Topo (pemegang parang adat) menyerahkan kembali Parang Adat (Topo) kepada bapak Viktor Li Nena dari Sao Tongananga akibat terjadi konflik internal di Sao Kelikisa. Namun pada tahun 2010 parang adat (Topo) tersebut diserahkan kembali kepada Sao Kelikisa. Parang Adat (Topo) adalah milik Eko Ga’e dan hanya boleh dipegang oleh keturunan Eko Ga’e baik dari sao Tongananga maupun sao Kelikisa.

Keturunan keluarga Eko Gae saat ini memiliki rumah adat atau Sa’o Waja yang betempat di Auradu terdiri dari:
1. Nama Rumah (sa’o Pu’u) : Tongananga
Fungsi : Tugu-tugu Labajawa Ku Ulu Enga Eko (memberikan komando untuk menjalankan adat gua ru dan gua leza)
2. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Kelikisa
Fungsi : Nau Gua (Gua Ru dan Gua Leza)
3. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Adja Eko
Fungsi : Tudhi Dhedhe
4. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Natanio
Fungsi : Lako Bore
5. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Tiwo Riwu (Punah)
Fungsi : Tiwo Riwu (Aula Pertemuan)

D. KELUARGA DHAE WIO
Dhae Wio berasal dari Wio atau Sumba. Penyebab keluarnya dari Sumba karena perselisihan merebut seorang perempan Janda. Dia datang menggunakan perahu dan mendarat di tempat yang sekarang bernama Aimere. Kemudian ia meneruskan perjalanan ke daerah pedalaman menuju tempat yang sekarang bernama Bajawa. Dari Bajawa ia meneruskan perjalanan menyusuri kali Wae Woki yang adalah hulu sungai Aesesa dan akhirnya tiba di suatu tempat yang bernama Rata. Ketika Berhenti senjenak di tempat tersebut ia mendengar suara ayam berkokok. Dhae Wio menuju suara ayam tersebut dan tibalah di kampong Oladhawe.

Di Kampung Ola Dhawe Dhae Wio mendapati sebuah rumah. Dia memanggil tuan rumah untuk meminta air minum. Ketika mendengar suara tersebut si tuan rumah merasa takut jangan-jangan adalah suara setan. Tetapi Dhae Wio mengatakan bahwa dia adalah manusia. Sebelum memberi air minum, tuan rumah meminta agar Dhae Wio tidak meneruskan lagi perjalanan dan tinggal di Oladhawe. Dhae Wio adalah juga berprofesi sebagai penjual Gong. Selang beberapa lama menetap di Ola Dhawe, Dhae Wio menemukan jodoh dengan seorang gadis oladhawe yang bernama Deo dari keturunan Togo Mogo. Mareka dikaruniai Anak bernama Rupi dan Tawa

Selama menetap di Ola Dhawe, Dhae Wio mengikuti semua ketentuan adat yang berlaku dan diberi tugas oleh Sao Tongananga sebagai pemimpin nyanyian adat Fera, Mesi Ae, Po Loku, Rido dan Pata Eko Etu.

Keturunan Dhae Wio saat ini memiliki rumah adat atau Sa’o Waja yang betempat di Kali terdiri dari:
1. Nama Rumah (sa’o Pu’u) : Tiwu Tasi
Fungsi : Pemimpi Nyayian Adat (Mali Pata)
Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Kota Kali (Punah)
Fungsi : Mali Pata
2. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Rasa Meze
Fungsi : Mali Pata
3. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Kolo Si (Punah)
Fungsi : Mali Pata

E. KELUARGA DHAE BHUBHU
Nama asli Dhae Bhubhu adalah Daeng Bhubhu berasal dari Makasar. Ia tinggal di Oladhawe karena menikah dengan perempuan dari Oladhawe. Dhae Bhubhu diberi tugas oleh Sao Tongananga untuk menjaga keamanan di pantai termasuk semua aset berupa garam dan kolam Alam Nangadhawe dan diberikan kepadanya sebuah rumah.

Oleh karena tugas tersebut, Sao Pazo dari Tongananga diberikan kepada Dhae Bhubhu. Nama sao tersebut adalah Gako Tasi yang berarti burung bangau laut. Batu Tungku (Lika Lapu) dari rumah Gakotasi terbuat dari undukan garam tanah (Pazo) sehingga makanan untuk dipersembahkan kepada leluhur harus di masak di Sao Tongananga.

Jasa Dhae Bhubhu terhadap masyarakat Oladhawe adalah berperang melawan bangsa portugis yang bernama Sera Lasu Toro atau Sera Lae Wara di Ae lako. Keluarga Dhae Bhubhu saat ini memiliki rumah adat atau Sa’o Waja yang betempat di Wolo Boko terdiri dari:
1. Nama Rumah (sa’o Pu’u) : GakoTasi
Fungsi : Sao Pazo (Penjaga Garam dan pantai)
2. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Maro Jiu
Fungsi : Penjaga Pantai
3. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : Dadho Wawo
Fungsi : Penjaga Pantai
4. Nama Rumah (sa’o Wa’u) : waka Wawo
Fungsi : Lako Bore waktu menjalankan baro dan pogo Peo
Kampung Oladhawe yang tetap eksis sampai saat ini terdiri dari 16 buah rumah adat beratapkan alang-alang dengan beberapa monument di tengah kampung seperti Waka Ola, Peo Fai, Peo Raki, Nabe dan beberapa tempat upacara. Keluarga yang tinggal di dhoa kata kini telah punah tanpa meninggalkan keturunan.

Kampung Oladhawe secara administrasi pemerintahan, berada wilayah di Kelurahan Dhawe Kecamatan Aesesa Kabupaten Nagekeo Provinsi NTT.

Demikian sekelumit sejarah kampung Oladhawe semoga menjadi bahan referensi dalam pendidikan muatan lokal, nilai inspirasi dan seni bagi generasi muda serta sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

Ditengah kontribusi Suku Dhawe untuk kemajuan pembangunan Daerah kabupaten Nagekeo ada harapan agar mendapat perhatian dari Pemda Nagekeo akan akses jalan menuju kampung adat Ola Dhawe dan akses jalan masuk kampung Dhawe.

Narasumber : Lodovikus Y. Laki

WBN  Wilibrodus Wu No

Share It.....