Indramayu, Jawa Barat – Penelusuran sejarah Kabupaten Indramayu tidak melulu hanya pada literatur tertulis berupa catatan-catatan, naskah kuno baik lokal maupun dari pihak luar. Melainkan juga melalui studi lapangan berupa jejak-jejak peradaban masa lalu diantaranya adalah nisan-nisan makam yang dianggap sebagai tokoh lama.
Diantara situs makam-makam Kuno yang baru sedikit teridentifikasi rupanya masih ada beberapa situs makam yang masih belum tersentuh penelitian dan penyelamatan. Salah satunya adalah sebuah Makam Cina yang berada di bagian samping kiri belakang rumah seorang warga yang dahulunya adalah bangunan Pabrik Penggilangan Padi era Hindia Belanda (Rijstpellerij) Blok Sekober Lemah Abang Indramayu.
Area Makam Tionghoa ini benar-benar menempel dengan tembok bangunan pabrik dan dilindungi dengan tembok melingkar juga rimbunnya pohon bambu. Kondisi makam utamanya Bongpay (Nisan) masih terawat dan tampak huruf-huruf Kanzi nya masih tergurat dengan jelas. Pada sisi Utara Bangunan Pabrik ini langsung berbatasan dengan area Makam Raden Wirapati dimana dalam Babad Dermayu beliau adalah Wiralodra ke-2 (Kiai Ngabehi Wirapati).
Dari hasil pengamatan dan setelah berkonsultasi dengan rekan medsos yang memang memahami tentang jenis-jenis Bongpay didapat kesimpulan bahwa Makam ini adalah Makam pasangan suami Istri dan merupakan tokoh penting pada eranya.
Menurut rekan Surabaya makam ini adalah “Makam Opsir Tionghoa berpangkat KAPITAN bermarga Khouw dengan istri bermarga Go’ berangka tahun 1775”.
Angka tahun Bongpay tersebut berjarak 35 tahun pasca meletusnya peristiwa “Geger Pecina 1740”. Dimana saat itu telah terjadi perlawanan Masyarakat Tionghoa yang akhirnya bersekutu dengan pasukan Mataram dalam melawan pemerintahan VOC. Peristiwa Geger Pecina dipicu oleh terjadinya Pembantaian Tionghoa di Batavia pada Oktober 1740 dengan jumlah korban tewas sekitar 10.000 jiwa. Geger Pecina yang merembet mulai dari daerah Batavia, Karawang, Cirebon, pesisir Pantura-Tegal, Pekalongan, Semarang, Kudus, Purwodadi, Rembang hingga Lasem, Tuban, Surabaya hingga Pasuruan-serta daerah pedalaman Mataram yang kini dikenal sebagai Yogyakarta, Surakarta, Banyumas hingga Pacitan-Madiun-Malang. Para Panglima Tionghoa Kapitan Sepanjang, Singseh dan kawan-kawan, berperang bersama para Panglima Jawa yang kelak menjadi Pemimpin entitas baru Yakni Pangeran Mangkubumi pendiri Keraton Yogyakarta, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambenyawa pendiri Dinasti Pradja Mangkunegaran. Pasca peristiwa ini Kompeni menerapkan kebijakan penempatan Masyarakat berdasar Rasnya masing-masing dengan dibentuknya Kampung Pecinan, Kampung Arab dan dipisahkan dengan masyarakat Jawa. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar tidak lagi terjadi penghimpunan kekuatan diantara kelas masyarakat tadi bilamana terjadi ketidakcocokan terhadap kebijakan Kolonial.
De Graaf menuliskan (Graaf, 1987: 22) Pemerintahan Mataram pernah menerapkan pola Pemerintahan Sentralisasi pada kurun waktu 1653-1654, kemudian berubah menjadi Desentralisasi pada kurun waktu 1657-1659, hal tersebut disebabkan karena adanya persaingan yang mulai tidak baik antara Pejabat Pedalaman dan Pejabat Pesisiran.
Pemerintahan Mataram menetapkan setiap daerah memiliki dua Syahbandar yaitu Pribumi dan Cina, masing-masing Syahbandar wajib melaporkan pendapatan kepada Penguasa Pesisir. Dimana setiap kepala daerah/Kota dan Syahbandar bertanggung jawab terdapat Komisaris.
Penguasa pesisir pantai Utara Jawa:
-1649 Tumenggung Pati Alias Tumenggung Nataairnawa/Kiai Suta
– 1651 Kiai Wira dan Wirajaya
-1655-57 Pelabuhan Mataram ditutup, diserahkan ke Penguasa Jepara, Semarang, Pati, dan Demak
– 1676 Rangga Sedayu dan Ngabehi Singawangsa Pekalongan sebagai Penguasa Pantai bagian Timur dan Barat.
Pelabuhan Indramayu-Cimanuk minimal sejak tahun 1630 merupakan bagian dari pelabuhan Mataram.
Lalu bagaimana peran Kapitan Tionghoa di Indramayu tersebut? Catatan tentang Opsir Tionghoa bermarga Khouw ini memang belum jelas. Akan tetapi jika merujuk pada catatan harian (daghregister) kasteel Batavia tahun 1670-1682 terdapat jejak tokoh Tionghoa di Kawasan Indramayu-Cimanuk. Pada Tahun 1678 yang menjadi Syahbandar Indramayu (Pelabuhan Cimanuk) adalah Tokoh bergelar “Wangsaperdana atau Angapradana” beliau dituliskan sebagai Seorang Tionghoa Muslim. Pada tahun 1678 dalam catatan harian tersebut yang menjadi Gubernur (Kepala Kawasan/daerah) Indramayu adalah Kiai Ngabehi Wiralodra, kemudian ditahun 1682 digantikan oleh Putranya yaitu Ngabehi Wirapati alias Kiai Ngabehi Wiralodra (II). Ngabehi Wirapati dalam teks Daghregister sering ditambahkan kata “Javaan” sebagai penegas beliau adalah Pemuda Jawa tulen, sedangkan Angapradana biasanya didahului Kata “Chinessen” untuk menegaskan beliau adalah Seorang Tionghoa.
Kiai Ngabehi Wiralodra memiliki saudara (“Broeder) yang bergelar “Martapraya” dimana pada era kekuasaan Indramayu digantikan oleh Kiai Ngabehi Wirapati (Catatan Daftar tahun 1686), Martapraya adalah Kepala Desa “Chinaan/Pecinan”, lalu ada juga tokoh “Imbassara” Kepala Desa Penganjang, “Anganala” Kepala desa pabean dan “Angasara” Kepala desa bangkir.
Jika Tokoh Kapiten Tionghoa bermarga Khouw (menurut penunggu Pabrik beliau dikenal dengan sebutan “Gao Pi Sa) tersebut dikuburkan tahun 1775 maka bisa jadi masa hidup beliau adalah saat/setelah era Gubernur Wirapati (Wiralodra II), yang berarti melewati peristiwa Geger Pecina dan merasakan kebijakan penempatan Kampung Pecinaan dan Arab (Lokasi Makam ini pun selanjutnya kearah selatan menuju Kampung Pecinan). Karena memang sebelum dibentuknya perkampungan cina dan arab tersebut sudah ada Para Warga Tionghoa di Pesisir Pantai Utara Jawa. Catatan Ma Huan yang berkunjung ke Majapahit era Hayam Wuruk jelas mencatat banyaknya Imigran Tionghoa disepanjang pesisir Utara namun mereka beragama Islam.
Semoga Pihak terkait segera memberikan perhatian yang semestinya pada situs Makam Cina Kuno tersebut sebagai bagian dari Benda Cagar Budaya daerah, dan bisa menjadi tambahan data dukung dalam penelitian sejarah Indramayu kedepannya.
Matur ksuwun Pak Andre Tjio, Pak Taning Y, Pak The Han Thong, Pak Wiharjo H. Tan dan mas Santosa Kusumahadi
Reporter, Penulis (Iskandar/sutrisno). | Red-Wbn Hs.
maaf sebelah mana ya lokasi persisnya ? apa sekitar rumah sakit MM ?
cerita org² tua yg msh saudara dekat nenek saya, bahwasanya saya msh ada garis keturunan cina yg menikah dgn pribumi, makamnya pun baru d beresin 2 th yg lalu, konon namanya lio org kampung saya menyebutnya, atau saudara saya bilang buyut lio, itu yg d ingat namanya.
saya penasaran apakah lio itu sebuah marga, entah pelafalan dlm penyebutannya benar atau tidak yg jelas buyut lio itu org cina konon katanya
terima kasih komentarnya, spertinya sudah ada dalam deskripsi beritannya.